Para kiai dan nyai sebagai pengasuh pondok pesantren sudah saatnya menguasai dan memanfaatkan media sosial untuk mengisi ruang-ruang publik di era digital ini. Dengan demikian, jaringan dan jangkauan dakwah Islam moderat akan semakin meluas.
Hal tersebut terungkap dalam kajian Halaqah Virtual Perempuan Ulama yang diinisiasi Pusat Studi Pesantren (PSP), Rabu (30/9) malam, di Jepara, Jawa Tengah. Hadir sebagai nara sumber dalam halaqoh ini adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mustaqim Bugel, Kedung, Jepara KH Sholahuddin Muhsin Ali, Pengasuh Pesantren Al-Lubab Jepara Nyai Azzah Nor Laila, dan Nyai Pengasuh Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara Hindun Anisah.
Pemanfaatan media sosial juga dinilai sesuai dengan kondisi saat ini di tengah mewabahnya pandemi Covid-19. Kiai atau nyai mungkin selama ini hanya fokus pada model dakwah atau ngaji secara tradisional (luar jaringan/luring). Saat Covid-19 mewabah, sudah saatnya melakukan transmisi keilmuaannya dengan metode daring (dalam jaringan).
Pilihan ini menjadi sangat solutif dan berdampak positif ketika rutinitas ngaji daring secara online atau melalui youtube secara shareable dapat dinikmati oleh publik di luar pesantren. “Oleh karena itu, unsur penting dari pesantren yaitu kiai dan ibu nyai perlu ikut andil dalam menguasai ruang publik di medsos untuk memperluas dakwal digital,” kata Pengasuh Pesantren Al-Mustaqim Jepara KH Sholahuddin Muhsin Ali.
Gus Sholah, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa agar ruang publik tidak dikuasai oleh kaum radikal, maka para kiai dan nyai perlu menguasai ruang dakwah untuk publik melalui dunia digital. “Ruang-ruang dakwah seperti itu menurut saya harus banyak diinisiasi. Sebab, radikalisme sudah banyak masuk, salah satunya melalui perguruan tinggi yang ada di Indonesia,” terangnya.
Ia menambahkan, isu radikalisme harus diatasi. Satu hal yang dapat mengatasi radikalisme adalah dakwah damai melalui dunia digital. “Seperti yang dilakukan Ning Ienas Tsuroiya dan Gus Ulil, juga Gus Baha,” tuturnya.
Menurut dia, masih banyak kiai dan nyai yang tawadhu’ dan malu untuk menyiarkan langsung pengajian yang ada di pesantrennya. Selain itu, juga muncul ketakutan seperti tidak adanya pengikut atau penyimak pengajian melalui medsos. “Jika hanya karena khawatir tidak ada yang mengikuti pengajian kita, saya kira tidak masalah. Terpenting, pengajiannya dilaksanakan dengan istiqamah,” tandas Gus Sholah.