Sabdo Palon dan Krisis Makna Keberagamaan

Krisis keberagamaan kita hari ini bukanlah krisis iman, melainkan krisis makna. Di tengah ramainya simbol, gelar, dan panggung religius, banyak orang justru merasa semakin jauh dari Tuhan. Agama hadir di mana-mana, tetapi ruhnya kerap sulit dirasakan. Yang sedang kita alami bukan kemunduran ajaran, melainkan pengeringan kesadaran.

Dalam khazanah budaya Nusantara, kegelisahan semacam ini pernah dimetaforkan melalui kisah Sabdo Palon. Ia dikisahkan akan kembali setelah lima ratus tahun, bukan untuk mendirikan kerajaan atau mengganti agama, melainkan untuk membangkitkan kembali apa yang disebut sebagai budhi atau kebijaksanaan batin yang menjaga keseimbangan antara laku lahir dan kesadaran ruhani. Terlepas dari perdebatan historisnya, kisah ini tidak perlu dibaca sebagai nubuat mistis, melainkan sebagai cermin budaya: peringatan tentang bahaya ketika agama direduksi menjadi identitas luar, bukan jalan pembentukan batin.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Refleksi ini bukan penolakan terhadap tradisi keagamaan, melainkan kritik atas kecenderungan kehilangan ruh di baliknya. Sebab gejala “kehilangan budhi” tampak jelas dalam kehidupan keislaman kontemporer. Di tingkat struktural, agama kerap terseret ke dalam logika kekuasaan dan kepentingan. Perdebatan otoritas, konflik legitimasi, dan dalih kemaslahatan sering membuat umat bertanya: ke mana arah perjuangan ini sebenarnya? Ketika agama terlalu sibuk mengurusi bentuk—jabatan, proyek, dan pengaruh—ada risiko besar bahwa nilai kebijaksanaan, keadilan, dan kasih sayang justru tersisih.

Di tingkat masyarakat, gejala itu terasa lebih dekat. Sebagian simbol dan gelar keagamaan direduksi menjadi komoditas. Doa yang seharusnya menjadi bisikan paling intim antara hamba dan Tuhannya berubah menjadi layanan berbayar. Barokah diperlakukan seolah dapat dipindahkan melalui transaksi. Di ruang digital dan panggung publik, agama kerap tampil sebagai tontonan yang meriah, sementara ruang keheningan dan perenungan justru menyempit. Inilah wajah zaman yang terpikat pada bentuk, tetapi abai pada makna.

Ironisnya, di tengah melimpahnya ceramah, majelis pengajian, dan konten religius, banyak jiwa justru merasa hampa. Sebab yang dicari manusia bukan sekadar tontonan agama, melainkan makna yang menghidupkan. Ketika agama berhenti membentuk kesadaran moral dan hanya memproduksi simbol, di situlah kekeringan ruhani bermula.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan