Salim baru tiba di pondok sore tadi. Sudah menjadi peraturan kalau kembali ke pondok harus bawa oleh-oleh. Untuk itulah Salim membawa sekantung besar oleh-oleh. Sebagai orang kota, Salim membawa makanan khas orang kota, seperti pesanan teman-temannya.
“Makanan apa ini namanya, Lim?” Gafar bertanya dengan semangat dan mata menyala-nyala. Makanan di depannya itu begitu menggugah seleranya. Kelenjar salifanya juga merespons cepat, air liurnya keluar memenuhi rongga mulut membuat jakunnya naik turun.
“Salad. Tunggu yang lain dulu kalau mau makan ya,” pinta Salim.
“Iya. Lagian aku sedang puasa Asyuro,” ucapnya sembari melangkah ke masjid untuk salat ashar.
Menjelang magrib teman kamarnya berdatangan. Mereka baru pulang dari sekolah yang masuk sore.
“Makanan apa ini?” desis Sobri.
“Ini namanya Salad,” jawab temannya.
Tanpa ba-bi-bu, mereka kemudian membuka bungkus plastiknya. Tak berapa lama kemudian makanan itu tinggal tersisa bungkusnya saja. Gafar yang sedang puasa merasa kecewa karena tidak mendapat bagian.
“Teman-teman ada yang mau salat?” tanya Jarot tiba-tiba. Pengurus pondok itu berdiri di tengah pintu kamar.
“Wah, barusan,” sahut Sobri.
“Aku mau,” Gafar menyahut. Kebetulan sekali baru terdengar kumandang azan ada orang menawarinya salad.
“Lekas ke kantor pengurus kalau mau. Ditunggu,” punkas Jarot.
“Titip satu bungkus,” pesan Zuhri.
“Beres Bos,” Gafar menyahut tangkas.
Gafar bergegas menuju kantor pengurus dengan memakai bawahan sarung serta atasan kaus bertuliskan “Ngaji-Ngabdi-Rabi-Jadi Kiai-Rabi Lagi-Cari Rejeki-Rabi Lagi”, dan tanpa penutup kepala. Di benaknya terlukis sebungkus salad kentang yang menari-nari menggugah nafsu. Langkahnya makin cepat.
Ketika kaki kanannya sudah masuk ke dalam ruangan kantor, seketika ia berhenti. Di situ tampak Pak Kiai Juned sedang bersiap untuk salat ashar dengan makmum beberapa ustad dan santri di belakangnya. Pengasuh pondok yang juga anggota DPRD yang beristri tiga itu memandang Gafar dengan tatapan aneh.
“Oh, maaf Kiai,” pelan-pelan Gafar melangkah mundur. Mukanya terasa menebal.
“Mau salat?” tanya Kiai Juned.
Gafar membungkuk dan terus melangkah mundur.
“Mana saladnya?” tanya Zuhri setibanya gafar di kamar.
“Sudah habis. Maaf,” ia menjawab dengan suara pelan.
“Ah, tak setia kawan,” timpal Zuhri yang padahal baru makan salad beberapa saat yang lalu.
“Kau mau salad yang dibungkus kertas minyak atau kain mori?”
Teman sekamarnya terbahak-bahak. Gafar pun ikut larut dalam tawa.
“Salat-salat-salat! Siapa yang mau salat silakan keluar!” teriak seseorang di emper komplek. Biasanya warga kompleknya mendirikan jamaah salat sendiri di komplek karena jamaah yang di masjid dengan imam para pengasuh pondok salatnya lebih lama. Salat jamaah di komplek itu mereka sebut dengan jamaah swasta. Sedangkan jamaah di masjid disebut jamaah negeri. Hal ini karena salat diimami kiai serta jumlah makmum lebih banyak pahalanya juga akan lebih banyak. Mereka menyebut begini juga karena menyadari banyak santri yang jadi guru sekolah. Sedangkan gaji guru swasta lebih sedikit daripada guru negeri.
Dan semua keluar kamar mendengar ajakan jamaah swasta itu, kecuali Gafar. Dia merupakan santri yang rajin salat jamaah negeri demi memburu pahala serta berkah. Dan tak berapa lama kemudian terdengarlah suara iqomah dari corong masjid. Gafar pun bergegas keluar untuk mengikuti salat jamaah sembari menahan perut laparnya. Dan betapa ia kecewa, ternyata teman-temannya di komplek sedang pesta salad buah yang dibawa salah seorang santri yang baru tiba.
“Bukankah perutmu sudah kenyang salad, Far?” tanya seseorang.
Gafar terus melangkah dengan hati penuh kesabaran.
“Beginilah ujian orang yang beriman,” desisnya.