Sudah cukup lama saya bergelut di dalam dunia pendidikan pesantren. Sejak lulus sekolah dasar di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, orang tua saya langsung mengirim saya ke pondok pesantren yang cukup terkenal di Madura, Jawa Timur. Hingga saat saya menulis artikel ini, saya masih nyantri sembari kuliah di Semarang.
Saya pikir, seusia saya yang saat itu baru lulus sekolah dasar, tidak sepantasnya harus meninggalkan rumah dan jauh dari bawah ketiak orang tua. Tapi nyatanya, saya berhasil juga melalui fase-fase yang saya rasa sedikit sulit itu, fase di mana saya mendapat gelar “santri”.
Anak kecil seumur jagung sudah dilatih untuk bisa hidup lebih mandiri. Semenjak nyantri, saya diberi uang saku untuk jatah sebulan, dilatih untuk mengatur uang jajan dan kebutuhan. Sering sekali saya salah perhitungan dan menghabiskan jatah sebelum datang lagi jatuh tempo.
Tidak jarang juga saya menodong orang tua untuk bisa dapat uang saku tambahan supaya tetap bisa jajan. Semua hal yang menyangkut pribadi, saya siapkan sendiri. Kecuali makan pagi, siang dan malam. Sebab, Makan tiga kali sehari itu sudah disediakan pondok agar santri lebih fokus dalam menghafal Al-Quran dan mengembangkan daya intelektual.
Di pondok pesantren, pelajaran-pelajaran yang didasari keislaman lebih menonjol dibandingkan ilmu-ilmu yang dianggap umum oleh banyak kalangan. Pelajaran Bahasa Arab dan Inggris begitu banyak saya dapatkan. Teks-teks gundul tanpa harakat pun saya pelajari. Sejak saat itu juga, khazanah keislaman saya sedikit bertambah. Saya mulai bisa memahami kedua bahasa asing itu.
Waktu terasa berjalan begitu cepat. Di pengujung tahun 2020, saya dinyatakan lulus dari pondok pesantren. Dengan bekal ijazah berbahasa Arab, saya mencoba mendaftar ke perguruan tinggi di Timur Tengah. Naas, sampai saat ini, tidak ada kejelasan antara saya diterima atau tidak.
Karena tidak mau menunggu ketidakpastian itu, saya melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi berbasis Islam di Semarang karena merasa masih haus dan kurang terhadap ilmu pengetahuan. Saya mencoba mencari pondok pesantren yang menampung mahasiswa sebagai santrinya. Tidak begitu sulit mencari, saya mendapatkan cukup banyak informasi dan langsung mendaftarkan diri menjadi mahasantri di salah satu pondok di Semarang.
Di Semarang, saya dikenalkan dengan sebuah organisasi yang berbasis Islam dan tertua di Indonesia. Saya mengikuti training yang menjadi syarat untuk menjadi bagian dari kader organisasi tersebut selama tiga hari. Saya mengikuti hingga jenjang kedua (maksimal tiga jenjang) dan mengikuti pelatihan non-formal untuk menjadi guru atau instruktur yang mengelola pelatihan kader untuk masuk menjadi bagian dari kader organisasi Islam yang saya ikuti.
Selama menjadi guru atau instruktur, saya menemukan banyak hal baru yang mungkin belum pernah saya temukan di pesantren-pesantren yang ada. Dan saya tidak sekritis sebelum saya bergelut dengan dunia perkaderan organisasi ini.
Saya kemudian bergaul dengan pemuda-pemuda Islam setingkat mahasiswa yang juga bukan dari kalangan pesantren. Saya merasa ada perbedaan yang begitu menonjol dalam hal pemahaman mereka tentang keislaman. Ya, Islam, agama yang nota bene mereka peluk kurang lebih dua puluhan tahun itu.
Sebelum mengikut forum pelatihan, seluruh calon peserta dites pemahamannya tentang empat hal. Salah satunya tentang keislaman. Dari banyaknya proses tes para peserta yang sudah saya ikuti, banyak dari mereka salah bahkan tidak tahu tentang agamanya sendiri, dan kebanyakan mereka dari kalangan non-pesantren atau bukan santri.
Di awal tes, saya selalu menanyakan pemahaman mereka tentang makna Islam. Mereka yang tidak tahu bahasa Arab pasti bingung dalam mengartikan apa itu Islam. Sebab, kata “Islam” itu berasal dari bahasa Arab yang kemudian diserap menjadi bahasa Indonesia. Pemahaman dan pendapat mereka yang saya tes berbeda-beda. Ada yang hanya mengarang-ngarang dengan merangkai kata saja. Padahal, makna Islam itu sangat simpel sekali.
Islam itu berasal dari Bahasa Arab “Aslama-yuslimu-Islaaman” yang artinya menyerahkan diri jika kata kerja, penyerahan diri jika diubah menjadi infinitive. Maksudnya adalah menyerahkan diri kepada Allah Swt. Maka orang Islam juga disebut sebagai hamba atau budak Allah. Budak yang menyerahkan diri kepada Tuhan dengan cara menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Selain pemahaman tentang makna Islam yang kurang, mereka yang bukan santri juga banyak yang tidak tahu makna yang dibaca ketika salat. Padahal mereka yang mengaku Islam dan melakukan ritual salat selama lima kali sehari. Itu yang wajib. Belum terhitung yang dianggap anjuran atau sunnah. Dalam hati saya berpikir, lalu untuk apa mereka yang tidak paham makna bacaan salat tetapi melakukan itu? Hanya untuk terlihat beribadah saja?
Doa-doa yang mereka panjatkan sehabis salat sehari-hari juga berbahasa Arab. Kebanyakan mereka juga tidak tahu apa yang mereka “aamiin”kan. Belum lagi kitab suci mereka yang dianggap sebagai petunjuk juga menggunakan bahasa Arab. Bukan bermaksud meremehkan, tapi itu memang benar adanya. Kebanyakan mereka yang mahasiswa muda yang saya temui merasa memeluk agama Islam, tapi tidak tahu ajarannya.
Akan tetapi, bukan berarti anak yang nyantri juga paham tentang makna Islam dan ajarannya. Mereka yang mengaku pernah nyantri dan belajar bahasa Arab juga beberapa kali saya temukan tidak tahu perihal makna Islam. Pikir buruk saya, mereka tidak serius dalam belajar bahasa Arab saat nyantri.
Orang yang tidak pernah nyantri juga bisa dibagi menjadi dua. Pertama, yang tidak pernah belajar sama sekali bahasa Arab. Kedua, yang pernah belajar bahasa Arab tapi hanya sekilas. Pelajaran mereka hanya sampai dasar saja. Sama seperti pelajaran anak-anak kecil usia dini di Arab. Hanya belajar makna “ini” dan “itu” dalam bahasa Arab. Sisanya mereka lupa.
Melatih kecakapan berbahasa memang harus ada pembiasaan dan lingkungan yang mendukung. Guru saya pernah mengatakan, bahasa itu hanya perihal pembiasaan saja. Sebab, anak kecil, orang gila dan tukang-tukang di Arab itu bisa berbahasa Arab. Begitu juga anak kecil, orang gila di Inggris juga bisa berbahasa Inggris. Sebagai orang yang punya akal dan kesempatan untuk belajar, seharusnya mau belajar berbahasa lebih serius lagi.
Saya rasa, lingkungan yang tepat untuk berbahasa itu ada di pondok pesantren. Sangat jarang bahkan susah ditemukan fasilitas dan komunitas berbahasa yang fleksibel seperti di pesantren. Di banyak pesantren, ada struktur kepengurusan yang tujuannya membina dan mengembangkan bahasa para santri. Budaya berbahasa dan pelajar di kelas pun dekat sekali dengan bahasa khas Islam tersebut.
Maka dari itu, penting bagi saya, seorang muslim bisa berbahasa, khususnya bahasa agama. Dan saya rasa pondok pesantren adalah salah satu pilihan tepat. Agar agama itu dapat dipahami dan diamalkan dengan benar. Tidak hanya sekadar ikut-ikutan saja.
Santri yang juga mahasiswa seharusnya paham dan menguasai Bahasa Arab juga seharusnya memberikan pemahaman dan pembelajaran kepada orang-orang yang belum pernah belajar di pesantren, terkhusus para mahasiswa. Agar mahasiswa yang tidak mendapatkan pelajaran ke-Islaman di bangku perkuliahan juga dapat memahami Islam dengan baik. Wallahu a’lam bissowab.