Literasi dalam makna luas adalah berbagai bentuk pengetahuan yang terkait dengan logika berpikir seseorang dalam berbagai aspek, seperti membaca, menulis, berhitung, diskusi, ceramah, dan lain sebagainya.
Di dalam KBBI dijelaskan bahwa literasi adalah kemampuan membaca dan menulis; pengetahuan atau keterampilan dalam bidang aktivitas tertentu; dan kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Makna lainnya, literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa (wikipedia).
Pada kesempatan ini, literasi yang dimaksud adalah fokus pada kepenulisan. Khususnya di lingkungan pesantren, seorang santri dituntut untuk berdisiplin dalam menulis (literal). Karena tidak jarang santri beralasan terlalu sibuk dengan kegiatan pesantren sehingga tidak punya waktu untuk menulis. Ini bukan suatu alasan untuk tidak berkegiatan dalam berliterasi. Betapa banyak ulama-ulama besar dengan kesibukan yang sangat berjibun, tetapi mereka menghasilkan banyak karya yang dapat dinikmati oleh banyak generasi.
Santri dan Literasi
Menjadi seorang santri seharusnya memiliki kesempatan yang besar untuk menulis. Bukan sebuah alasan jika kesibukan dijadikan halangan untuk tidak menulis. Sebab kesibukan tidak dapat dipisahkan dengan menulis. Artinya, setiap individu memiliki kesibukan masing-masing.
Menurut Moch Khoiri, seorang dosen di UNESA dan penulis yang kreatif melalui saluran youtube Akbar Zainuddin, tidak ada seorang pun yang tidak sibuk. “Tetapi bagaimana mengatur kesibukan itu menjadi kesempatan untuk berkegiatan menulis di antara kesibukan tersebut,” demikian dikatakan Moch Khoiri dalam sebuah wawancara seri kepenulisan.
Begitu juga dengan kehidupan seorang santri. Di pesantren umumnya disediakan ruang kreativitas untuk para santri. Baik berupa buletin maupun hanya sebuah majalah dinding. Ruang ini seharusnya dijadikan kesempatan oleh santri untuk menyalurkan skill berliterasi. Hal tersebut merupakan latihan awal bagi santri untuk berkontribusi dalam literasi pesantren. Terlepas dari ruang kreativitas yang disediakan lembaga pesantren, agenda atau buku diari merupakan bagian dari selfliteral untuk membangun kedisiplinan menulis.
Seorang santri harus paham dan memahami arti penting literasi (menulis dan membaca), karena ayat Al-Quran yang pertama kali turun adalah ayat literasi. Iqra’ (bacalah) adalah ayat yang pertama kali turun di goa Hira pada saat Muhammad saw sedang berkhulwat, menepi dari hiruk-pikuk kehidupan dunia. Sejak saat itu, di pundak Muhammad saw terpancang kewajiban untuk menyampaikan risalah Islam yang pada akhirnya menjadi agama besar di muka bumi.
Sebagai ayat literasi, ada poin-poin khusus yang termaktub dalam surat Al-‘Alaq ini. “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-4).
Membaca, pena, dan pengetahuan adalah tiga dimensi pokok di awal turunnya ayat Allah ini. Karena ketiga prinsip ini merupakan pokok kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Membaca dengan segala dimensi dan teknisnya adalah membaca segala apa yang ada di sekeliling kita. Di antara hiruk-pikuk kehidupan terdapat banyak hal untuk dibaca, dianalisis, dan diajak ke jalan kebenaran. Begitupun dengan pena, menulis merupakan bentuk catatan sejarah yang akan dijadikan pelajaran dan pengetahuan bagi generasi yang akan datang.
Rumus Inspirasi
Moch Khoiri mengatakan, “Rumus inspirasi adalah pengetahuan dan pengalaman sendiri,” demikian menurut penulis yang telah menerbitkan 66 buku ber-ISBN ini. Jadi sebenarnya inspirasi sudah ada dan tersedia. Hanya kita terkadang tidak bisa dan tidak biasa memanfaatkan keberadaan itu untuk diambil sewaktu kita butuhkan. Maka perlu sedikit latihan, komitmen, dan perjuangan untuk menuangkan inspirasi dalam bentuk naskah tulisan.
Inspirasi telah ada sejak nenek moyang. Dari berbagai sudut kehidupan, dari beragam aspek personal dan sosial, inspirasi itu ada dan tidak akan pernah habis untuk diwacanakan. Oleh sebab itu bukan sebuah alasan jika kemudian seseorang tidak dapat menulis karena kehabisan inspirasi. What? Inspirasi kita habis? Jangan-jangan kemalasan itu saja yang telah menggerogoti inspirasi kita?
Apapun alasannya, inspirasi, intuisi, ide, opini, dan lain semacamnya tidak akan pernah habis di dunia ini. Mereka banyak dan tersebar di mana-mana, dan akan selalu menyediakan diri untuk dieksekusi menjadi sebuah naskah yang bernilai.
Menulis Setara Membaca
Menulis dan membaca adalah dua aspek yang saling berkelindan. Yang satu memberikan warna kepada yang lainnya. Semakin banyak membaca, maka akan semakin berkualitas tulisan yang mereka buat. Semakin sering menulis, maka kualitas tulisannya akan semakin enak dibaca dan sedap dicerna.
Maka benar apa yang dikatakan oleh Dr A Wahid Hasan, dosen tetap INSTIKA Annuqayah, bahwa untuk menemukan karakter menulis yang tepat seseroang harus menulis, menulis, menulis, dan jangan lupa membaca.
Tidak ada dalam sejarah kesuksesan seorang penulis yang tidak disertai dengan cara membaca yang baik. Ingat, bahwa membaca di sini bukan dalam arti sempit. Membaca dalam makna luas yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Maka seluruh gerak tubuh kita dengan segala warna hidupnya adalah proses membaca, jika dimaksudkan sebagai bagian dari perjalanan literal. Namun, jika hanya dijadikan sebagai “pengantar tidur”, bahkan yang benar-bernar membaca pun tidak bernilai literasi.
Intinya, santri mempunyai talenta dalam sebuah kepenulisan. Tidak sedikit para penulis yang lahir dari seorang santri. Sebut saja misalnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Musthofa Bisri (Gus Mus), yang lebih senior lagi KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan lain sebagainya. Mereka adalah para santri yang dalam hal kepenulisan sudah tidak dapat diragukan lagi.
Sudah saatnya, santri masa kini untuk unjuk kebolehan bahwa eksistensi santri dalam kepenulisan tidak akan pernah mengalami krisis. Setidaknya, kita mencoba memulainya, misalnya, dengan mengirimkan tulisan ke redaksi www.duniasantri.co.
Wallahu A’lam bis Shawab!