Dalam pembelajaran di pondok pesantren, santri tidak hanya terbatas mengikuti pembelajaran ilmu-ilmu agama. Pondok pesantren merupakan suatu institusi budaya yang juga menanamkan kemampuan dan keterampilan spiritual dan keterampilan ekstra untuk menyeimbangkan kognisi dan kemampuan diri kepada para santri. Salah satunya adalah pencak silat.
Pencak silat merupakan suatu seni bela diri khas Indonesia yang dilahirkan dari perjalanan panjang budaya Nusantara. Ia sering disandingkan dengan kata “seni”, menjadi seni pencak silat atau seni bela diri karena, selain merupakan sebuah teknik bela diri, pencak silat juga mempunyai keindahan gerak dan ritme yang berirama.
Oleh sebab itu, pencak silat sering dikategorikan sebagai sebuah seni. Salah satu bela diri khas Nusantara ini ternyata juga lahir dari pengalaman kebudayaan yang khas pula. Ada ratusan bahkan ribuan perguruan pencak silat di Indonesia; semua mempunyai ciri yang berbeda namun masih dalam bingkai ke-Indonesia-an. Pencak silat merupakan sebuah seni bela diri yang tidak hanya mengadopsi nilai-nilai teknik fisik, melainkan juga mengadopsi nilai budaya sebagai identitas dan nilai agama sebagai sarana mengolah ruhani.
Dengan tiga kombinasi antara olah raga (jasmani), identitas budaya, dan olah batin (rohani) inilah pencak silat sangat melekat kepada masyarakat Indonesia, terutama para santri. Tidak sedikit santri yang juga bergabung dalam perguruan pencak silat. Pencak silat itu memang sangat berguna bagi para santri terutama dalam hal pengembangan pendidikan mental juga spiritual, di mana termasuk untuk mewujudkan budi pekerti yang luhur. Di sini, pencak silat bukan hanya sebagai sarana olah raga, melainkan juga sarana mengembangkan akhlak yang luhur, sikap ksatria, dan takwa kepada Sang Pencipta.
Biasanya santri yang juga bergabung dengan perguruan pencak silat akan bisa menyeimbangkan ilmu-ilmu yang didapatkan di pondok pesantren dan semiotika dalam setiap gerakan pencak silat. Oleh karena ini, output santri saat bergabung dengan pencak silat sebenarnya adalah output yang bermanfaat untuk masyarakat, yaitu untuk menghindari hal yang munkar dan membawa diri dan lingkungan kepada jalan yang haq.
Saya jadi teringat kisah seorang santri yang berhasil mengalahkan dua begal dengan membawa celurit pada 2018. Dua begal dengan senjata tajam itu rupanya salah sasaran. Mereka harus berhadapan dengan Irfan, seorang santri dari Pondok Pesantren Darul Ulum Pamekasan, Madura. Irfan bukanlah santri biasa. Ia seorang santri yang menguasai seni bela diri. Dua begal bersenjata tajam pun keok di tangan Irfan seorang diri. Bahkan, Irfan berhasil merebut senjata tajam yang dibawa pelaku.
Kisah ini membuktikan bahwa prinsip yang diajarkan dari pondok pesantren dan prinsip dari perguruan pencak silat sangatlah seirama, sehingga dua hal ini dapat menyeimbangkan. Memang sebenarnya pencak silat bukanlah digunakan untuk berkelahi. Pencak silat justru digunakan agar tidak ada perkelahian. Dan santrilah salah satu subjek yang bisa menyeimbangkan emosi spiritual dan logika sehingga tidak menyalahgunakan kemampuannya untuk kepentingan-kepentingan dekstruktif.
Di dunia silat sebenarnya ada anecdote, bahwa prinsip silat itu adalah ‘ngalah-ngaleh-ngamuk’. Maksudnya, seseorang yang mempunyai keahlian bela diri jika ada yang menantangnya, maka sebagai seorang pendekar ia akan mengalah, karena jika ia sungguh-sungguh, maka ia sadar lawannya akan kalah. Dan, jika sudah ngalah namun lawannya tidak tahu diri dan terus mengejar atau bertindak kurang ajar kepadanya, maka langkah kedua adalah ngaleh, pergi meninggalkan lawan itu agar tidak terjadi hal-hal yang dekstruktif. Namun, jika sudah pergi tapi lawan masih saja memburunya, maka untuk memberi efek jera kepada lawan, ngamuk adalah alternatif, agar lawan dapat mengambil pelajaran.
Siapa yang bisa mengendalikan emosi dan menyeimbangkannya agar selaras dengan ilmu yang sudah diajarkan di pondok pesantren? Tentu saja para santri. Jadi, sebenarnya santri menguasai pencak silat merupakan hal yang wajar, bukan?