Dalam lintasan sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, santri memiliki peran yang sangat signifikan walaupun jarang sekali tertulis dalam buku-buku kurikulum pelajaran sejarah di sekolahan. Seakan identitas santri berusaha diasingkan dan dihapus dari ingatan bangsa Indonesia ini.
Menengok masa lalu dan juga untuk meneropong masa depan, santri berada dalam poros dari peradaban dan kebudayaan Indonesia. Pendidikan lahir dan batin yang didapatkan di pesantren tidak hanya mencetak agamawan saja, melainkan suatu agen perubahan bahkan hemat penulis juga ambil bagian dari agent of change yang saat ini hanya dinisbatkan pada mahasiswa saja, namun santri juga patut menyandang gelar demikian.
Terdapat bait syair dalam kitab Ta`limul Muta`alim yang menjadi nilai-nilai dasar seorang santri. Yakni, “Dzukain, wa hirshin, wa-sthibarin, wa bulghatin, wa irsyadi ustadzhin, wa thuli zamani”. (Kecerdasan, semangat, kesabaran, modal finansial, petunjuk guru, dan belajar sepanjang masa). Nilai-nilai dasar tersebut menjadi syarat bagi para santri ketika menimba ilmu di mana pun berada. Hemat penulis, bait syair tersebut tidak terbatas untuk santri, namun juga untuk para pelajar dan pecinta ilmu.
Jika membaca buku babon tentang pesantren anggitan Zamakhsyari Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren, kita akan disuguhi sub-bab yang membedah perihal santri. Bagi Dhofier, santri merupakan elemen penting dalam lembaga pondok pesantren. Dhofier juga mengklasifikasikan santri menjadi dua bagian yakni, santri mukim dan santri kalong.
Santri mukim lazim dikenal dengan murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren. Sedangkan, santri kalong dikenal sebagai murid-murid dari desa-desa di sekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren.
Namun, di sisi lain, jika kita membaca buku Pesantren Studies karya Ahmad Baso, akan ditemukan nomenklatur yang sama sekali tidak ditemukan di buku anggitan Zamkhsyari Dhofier tadi. Yakni, santri mustamik. Siapa itu santri mustamik?