Apa perbedaan antara santri dan bukan santri? Kalau ada bedanya, itu terletak pada kebiasaan sehari-hari, di mana santri hidup di pesantren.
Aktivitas santri terikat dengan peraturan pesantren, dikelilingi norma sosial islami yang kental, serta bersentuhan langsung dengan lingkungan keilmuan. Dari sini, muncul semacam jurang kecil antara dunia pesantren dan dunia luar. Santri sibuk menghafal kitab, sementara di luar sana orang lain sibuk memperbarui status. Saat orang-orang tergoda oleh notifikasi WA, santri dikejar target setoran Alfiyah. Saat yang lain cepat tahu segalanya, santri justru belajar memahami pelan-pelan.

Begitulah, kira-kira potret ideal tentang kesenjangan dunia pesantren dengan dunia luar. Namun jika diteliti lebih dalam, benarkah kenyataannya sesederhana itu?
Kita jarang menengok dari sisi lain: sudut pandang “santri nakal.” Bahwa tak semua santri selalu taat peraturan dan hanya sebagian di antaranya yang memiliki himmah kuat akan keilmuan. Menjadi santri selama kurang lebih 10 tahun, saya memahami betul posisi itu. Di sinilah saya merasa perlu memberikan sebuah perspektif tentang santri nakal.
Menggali lebih dalam ke sudut ini, kita menemukan bahwa jurang pemisah antara pesantren dan dunia luar tidaklah berupa dinding tinggi yang kokoh, melainkan sebuah tirai tipis. Para “santri nakal” ahli dalam menyiasati tirai ini, menjadikan hidup mereka sebagai praktik fiqih dalam mencari rukhshah (keringanan) dari aturan yang ketat.
Misalnya dengan menggunakan kaidah rukhsah secara asal-asalan—الضرورات تبيح المحظورات (kondisi darurat membolehkan sesuatu yang dilarang). Atau dengan penerapan teori takhrijul manath dalam pelajaran ushul fikih: bahwa peraturan harus memiliki korelasi dengan manfaat. Maka aturan yang dirasa tidak bermanfaat, dianggap bukan aturan—dan tentu saja standar manfaatnya dibuat-buat sendiri, bukan menggunakan paten resmi.
Kenakalan semacam itu tidak berhenti pada tataran teori. Ia hidup dalam keseharian—dalam bentuk-bentuk kecil yang justru paling jujur menggambarkan dinamika dunia pesantren. Mereka yang di pagi hari lantang melafalkan nazam Alfiyah, di malam hari diam-diam memantik ujung rokok dan menikmati sensasi melihat hiruk-pikuk dunia luar dengan ponsel. Keduanya dianggap sebagai barang haram di pesantren, tapi justru menjadi artefak paling dicari. Upaya penyelundupannya membutuhkan taktik yang lebih rumit daripada belajar tasyri’ (penetapan hukum). Ia disembunyikan di balik tumpukan kitab kuning tebal, di bawah lipatan sarung, atau bahkan dikubur sementara di kebun belakang asrama.
“Kenapa merokok? Itu pelanggaran.”
Kondisi darurat! Ya, isapan rokok membuat otak terasa lebih enteng, lebih tenang dan fokus. Sementara otak yang encer adalah syarat untuk belajar. Maka merokok dianggap kebutuhan tak terbantahkan agar bisa memahami kitab.
“Lalu kenapa pakai HP? Itu juga pelanggaran.”
Juga darurat. HP adalah bagian dari kehidupan masyarakat modern. Mengoperasikan HP berarti menjaga akal agar tetap update perkembangan. Selain itu, HP adalah perantara mutlak untuk menghubungi orang tua—minta kiriman, tentu saja.
Begitulah. Notifikasi WA memang tidak menggoda santri di depan umum, tetapi di balik bilik kamar mandi atau kolong lemari, notifikasi itu menjadi jendela rahasia menuju semesta baru.
Inilah paradoksnya: para santri ini adalah mereka yang seharusnya paling terisolasi, namun justru paling gigih mencari cara untuk tetap terhubung.
Santri nakal mungkin bukan mutafannin (ahli dalam banyak disiplin ilmu) dalam urusan keilmuan, tetapi mereka adalah mutafannin dalam seni bertahan hidup dan negosiasi batas. Mereka tahu cara membaca situasi, menakar risiko, dan menyesuaikan diri tanpa kehilangan arah. Dari balik tirai pesantren yang tampak tertutup rapat, mereka belajar sesuatu yang tak tertulis di kitab mana pun: bagaimana berstrategi, beradaptasi, dan tetap waras di tengah aturan yang ketat.
Maka jangan buru-buru menilai mereka sekadar nakal. Bisa jadi, justru mereka yang paling siap menghadapi dunia luar—karena sejak lama mereka telah belajar satu hal yang sulit diajarkan di kelas: hidup itu tidak selalu soal patuh, tapi tentang tahu kapan harus taat, dan kapan harus bersiasat.
Sumber ilustrasi: pondok pesantren jlamprang.
