Santri Pesisiran

368 kali dibaca

Pondok pesantren di Indonesia saat ini ibarat jamur di musim penghujan. Selain jumlahnya yang begitu banyak, pesantren juga bisa “tumbuh” di tempat dengan beragam latar belakang dan kondisi. Mulai dari daerah pegunungan, pesisir pantai, tengah kota, bahkan lahan kosong bekas tempat pelacuran pun bisa disulap menjadi singgasana harapan yang memancarkan cahaya keilmuan yang menyinari di tengah gelapnya zaman.

Seorang kiai dalam membangun pesantren tidak seperti usahawan dalam membangun kerajaan bisnis yang penuh dengan pertimbangan untung-rugi. Letak yang strategis hingga kondisi pangsa pasar seakan menjadi syarat utama pembangunan bisnis. Sebab, seorang pebisnis paham betul, bahwa produk bisnis mereka suatu saat akan mengalami pasang-surut sesuai dinamika zaman. Namun, seorang kiai dan pesantrennya tidak seperti itu. “Komoditas” utama pesantren selamanya tidak akan pernah sirna, karena komoditas itu adalah keilmuan dan keberkahan. Karenanya, seorang kiai pasti yakin sebab sumber keilmuan tidak akan sepi dari pelanggan.

Advertisements

Daerah Pesisir

Letak dari pesantren yang beragam sudah barang tentu memiliki keunikan sesuai kondisi geografisnya. Salah satu latar tempat yang unik adalah pesantren yang berada di daerah pesisiran pantai. Pesisir pantai yang nota bene beriklim panas dan cenderung kumuh, serta kerap memiliki problem pada air dan udara bersih, sebenarnya secara geografis kurang layak menjadi tempat berkumpulnya sebuah komunitas banyak orang seperti pesantren.

Sebagai contoh pesantren-pesantren yang memiliki latar tempat berupa pesisir adalah gugusan pesantren daerah Sarang, Jawa Tengah. Di daerah pesisir pantai utara Jawa ini banyak berdiri dan terus kembang pesantren-pesantren yang terletak tepat di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan latar tempat pesisir pantai, ternyata tidak membuat pesantren-pesantren di Sarang sepi peminat. Justru, telah tercatat ada puluhan ribu santri yang berdomisili di Sarang dan tak kurang dari ribuan santri memutuskan untuk bergabung di komunitas besar ini setiap awal tahun ajaran baru.

Pertanyaannya, dengan latar tempat berupa pesisir yang cenderung panas dan kumuh lengkap dengan segala problematikanya ini, mengapa pesantren pesisir pantai, khususnya pesantren-pesantren di daerah Sarang, tetap eksis hingga kini?

Abilitas Santri

Pernahkah kita memperhatikan model kehidupan tanaman kaktus? Sebuah tanaman yang berbeda dengan normalnya tanaman. Lazimnya, sebuah tanaman hanya hidup di tempat yang kebutuhannya terpenuhi, mulai dari air, cahaya matahari, dan zat hara untuk berfotosintesis. Namun, kaktus tidak demikan. Kaktus mampu hidup sekalipun di lingkungan ekstrem, seperti gurun yang memiliki curah hujan sangat rendah.

Mengapa demikian? Sederhana.Terdapat abilitas khusus yang dimiliki kaktus, yaitu berupa adaptasi morfologis. Kaktus memiliki duri sebagai kompensasi tiadanya daun. Duri berperan sebagai penghambat penguapan air secara drastis sehingga mampu bertahan lama dengan adanya cadangan air di dalam batangnya. Nah,kurang-lebih seperti itu analogi sederhana untuk seorang santri.

Santri adalah entitas yang berbeda dengan manusia pada umumnya. Bukan perihal fisik, melainkan model kehidupannya. Santri merupakan komunitas yang (seharusnya) bersifat seperti kaktus: Adaptatif dan memiliki daya survive yang tiinggi. Sehingga, di lingkungan ekstrem pun, yang bahkan tidak layak bagi berdirinya sebuah komunitas, santri masih bisa bertahan hidup.

Santri juga seperti kaktus, yang mampu mereduksi beberapa norma dasar manusia, seperti makan tiga kali sehari, mandi sehari dua kali pagi dan petang, hingga jam tidur 8 jam dalam sehari semalam. Melihat kehidupa santri di pesantren, khususnya daerah pesisir pantai utara Jawa, rasa-rasanya hampir mustahil santri menerapkan hal-hal di atas. Berlebihan? Coba saja bergabung dengan komunitas santri di sana.

The Power of Yakin

Sama halnya kaktus yang mampu survive di lingkungan ekstrem, karena keyakinannya terhadap abilitas yang dimilikinya, santri pun setali tiga uang. Selain bermodal abilitas, santri juga (seharusnya) memiliki keyakinan terhadap abilitas yang dimiliki. Dengan yakin, apa yang tidak mungkin terjadi?

Hal inilah yang selalu disampaikan oleh kiai dan (seharusnya) diterapkan oleh para santri.Yakin adalah hal sering dipandang sebelah mata, bahkan oleh santri sekalipun. Namun, memiliki power yang luar biasa, tidak sedikit hikayah-hikayah moral yang menceritakan kekuatan dari sebuah keyakinan.

Selain itu, santri juga memiliki prinsip bahwa tidak perlu mewah untuk bahagia. Santri juga diajarkan untuk bahagia dari dalam tanpa perlu menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang bersifat eksternal. Tentunya standar bahagia santri dan non-santri memiliki perbedaan.Namun, tidak seyogyanya memaksakan atau menuntut santri atau orang lain untuk bahagia dengan standar yang bukan versi mereka.

Jangan mengintervensi hak orang lain dengan tuntutan, biarkan santri bahagia dengan versi mereka. Pada akhirnya, muncul pertanyaan dari para santri, apakah di tempat yang panas nan kumuh seperti pesisir, terdapat larangan bahagia?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan