Nusantara tidak pernah kehabisan alim ulama. Setiap sudut-sudut daerah, selalu melahirkan pejuang dakwah Islam, termasuk di Tanah Mandar.
Tanah Mandar, tepatnya di Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, telah lama dikenal oleh masyarakat sebagai tempat bermukimnya para ulama. Salah satu nama yang mengukir di sana adalah Annangguru Sayyid Fadhl Al Mahdaly.
Sayyid Fadhl Al Mahdaly adalah seorang pendakwah dan cendekiawan Islam yang garis keturunannya sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Sanadnya bersambung kepada Sayyid Hasan bin Said Al Mahdaly, seorang penyebar Islam di Mandar sekitar tahun 1800-an. Ayahnya, Sayyid Jafar Al Mahdaly, juga seorang ulama yang berjuang menyebarkan Islam di Pambusuang semasa hidupnya (Idham, 2018).
Masyarakat Mandar menyebut Sayyid Fadhl Al Mahdaly sebagai Puang Sayyeq, artinya Tuan Sayyid (Keturunan Rasulullah). Ada pula yang memanggilnya Annangguru, artinya orang yang memiliki kedalaman ilmu agama Islam. Namun, pemuda-pemuda di Mandar lebih sering memanggilnya Aqba, artinya orang tua kita (Abah). Panggilan ini mencerminkan kedekatan beliau dengan berbagai lapisan masyarakat, dari orang tua hingga anak muda.
Ceramah-ceramahnya banyak digandrungi oleh masyarakat. Pembawaannya yang humoris dalam menyampaikan pesan dakwah, membuat ceramahnya mudah diterima dan dipahami oleh jemaah.
Ada yang khas setiap kali beliau menyampaikan ceramah, yaitu cerita-cerita lucu penuh hikmah, nilai-nilai keIslaman, dan nilai-nilai kemandaran yang melekat dalam ceramahnya.
Suatu waktu, beliau berceramah di Masjid Syuhada Polewali Mandar, dalam Peringatan Maulid Nabi Muhammad. Beliau menceritakan bahwa ayahnya pernah bercerita, masyarakat Mandar ketika mendapatkan informasi atau berita tentang musibah, secara spontan akan mengucapkan ‘Hamma’ atau ‘Hamma e’. Ungkapan itu merupakan singkatan dari kata ‘Muhamma’,merujuk kepada Nabi Muhammad.
Kebiasaan itu lahir karena mereka sudah diajarkan oleh Annangguru terdahulu, untuk senantiasa menghormati Nabi Muhammad dengan cara, sering-sering menyebut namanya. Sehingga sampai pada tingkat ekspresi kekagetan masyarakat Mandar, secara spontan memanggil Nabi Muhammad.
Selain cerita-cerita yang sarat makna, dalam berceramah beliau lebih banyak menggunakan bahasa Mandar sebagai bahasa sehari-hari masyarakat di Pambusuang. Beliau memahami betul, bahwa menyampaikan dan mengajarkan Islam harus sesuai dengan bahasa kaumnya.
Bahkan lebih jauh, dalam salah satu ceramahnya beliau menyampaikan tidak ingin dikenal sebagai ulama kharismatik atau berwibawa, sebab itu bisa menciptakan jarak dengan jamaahnya.
Prinsip hidupnya yang ingin selalu melebur dengan masyarakat, terlihat saat beberapa kali beliau menghadiri acara atau mengisi ceramah. Beliau terlihat sangat sederhana, dengan peci hitam, baju koko, dan sarung kotak-kotak yang biasa digunakan masyarakat Mandar.
Karena penampilannya yang sederhana itu, beliau pernah mengalami kejadian lucu. Suatu waktu, saat tiba di lokasi untuk mengisi ceramah, panitia acara menghampiri dan menanyakan keberadaan Sayyid Fadhl Al Mahdaly. Sebab, panitia tersebut mengira beliau adalah sopir yang bertugas mengantar penceramah. Setelah panitia acara tersebut mengetahui ternyata penceramahnya adalah orang yang tadinya disangka sopir, ia segera meminta maaf. Takut mambul atau mabusung (kualat).
Sayyid Fadhl bahkan pernah mengadakan acara halal bi halal, dalam rangka mempererat silaturahim di antara masyarakat Pambusuang. Alih-alih membuat acaranya bertemakan atau bernuansa Islami, beliau justru membuat acara bertemakan komedi “Curita Barung-Barung,” yaitu cerita-cerita lucu yang biasanya disampaikan oleh masyarakat di sudut-sudut warung.
Dalam acara tersebut, setiap orang bebas berbagi cerita lucu, termasuk Sayyid Fadhl sendiri. Baginya, membuat jemaah tertawa, senang, dan bahagia merupakan cara untuk menyatu dengan mereka. Dengan begitu, pesan-pesan dakwah yang disampaikan akan lebih mudah diterima dan dipahami oleh jemaah.
Sayyid Fadhl Al Mahdaly hingga kini masih aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan. Beliau menjabat sebagai Imam Masjid Agung Syuhada Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Kehadirannya menjadi bukti bahwa ulama tidak hanya menjadi penerang, tetapi juga pengikat batin masyarakat, membawa Islam dengan kelembutan, kedalaman ilmu, dan kearifan lokal yang mendalam.