Sebab Aku Bukan Seorang Nyai

Sekejap saja bersanding bersama gelora remaja belaian pinangan getarkan lara di dada, sore melintas di luar jendela membawa ragaku ke dalam dekapan senyap perkawinan.”
—(Kutipan puisi “Pelamin Kematian”, Mahwi Air Tawar)

Kutipan puisi “Pelamin Kematian” mengingatkanku pada cerita perjodohan Yulia dan Indri; tentang nasib perjodohan yang mereka alami. Aku juga mengalami hal yang sama. Karena tak kunjung menikah, orang tuaku menjodohkanku. Namun, kisah perjodohanku biasa saja, karena kehidupanku baik-baik saja.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Yulia dipanggil “Nyai”, sekalipun ia baru  seumuran denganku. Di desaku, anak seorang kiai akan mendapat gelar atau panggilan khusus untuk menghormatinya. Keturunannya akan dituakan, dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Yulia selalu lari ke kamarku—tempat santri istirahat—dan bercerita banyak hal. Apa saja yang terjadi pada dirinya sehingga dia ingin sekali bertukar tempat denganku?

Aku, yang anak seorang petani, tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Yulia. Pastilah menyenangkan karena dia akan melanjutkan ke perguruan tinggi di Surabaya. Aku ingin sekali melanjutkan kuliah, sedangkan orang tuaku selalu takut dengan kehidupan metropolitan yang bebas, semuanya serba mahal, dan tampak mengerikan setelah peristiwa yang dialami oleh Indri, anak seorang guru.

Indri melanjutkan ke perguruan tinggi. Pada semester lima, Indri hamil sebelum menikah. Namun, orang-orang desa hanya mampu bergunjing di belakang. Satu bulan kemudian, rumor tentang kehamilannya berlalu begitu saja. Indri setiap pagi pergi ke pasar dengan perut buncit, sampai anaknya lahir dan Indri menjadi seorang guru. Cerita masa lalunya seperti ditelan badai setelah semuanya berlalu, kehidupannya kembali seperti sebelumnya.

Sedangkan, Yulia, ketika hamil waktu kuliah, orang-orang desa menghujatnya, menghina keluarga pak kiai yang dulu dihormati. Dengan terang-terangan mereka melontarkan kalimat-kalimat kotor dan mengusir Yulia dari desa. Bu Nyai tak lagi diperkenankan mengisi pengajian jemaah ibu-ibu. Mereka mengatakan tidak akan datang ke acara rutinan. Orang-orang desa menyalahkan pak kiai karena tidak becus mendidik anak, bagaimana bisa mengayomi masyarakat? Kepergian Yulia tidak membuat orang-orang berhenti mengulang cerita yang sama tentang kehidupan metropolitan dan seorang keturunan kiai yang tidak boleh cacat di mata masyarakat.

Andai saja waktu itu aku bertukar tempat dengan Yulia, mungkin akulah yang akan hamil dan tetap tinggal di desa bersama kedua orang tuaku dan anak yang aku lahirkan. Aku akan membesarkan anakku dengan cara apa pun agar bisa pergi ke Surabaya. Bukan untuk hamil, tetapi mencari tahu kenapa kehidupan di Surabaya tak pernah tenang, tak pernah tidur, tak pernah sepi, dan selalu menjadi pilihan orang untuk belajar. Sedangkan, Yulia akan tetap menjadi Nyai yang dihormati, diteladani.

Tapi tidak begitu kenyataannya. Dia mengirim surat kepadaku dan bercerita:

“Aku tidak perlu bertukar tempat untuk menjadi sepertimu. Hanya butuh keberanian melakukan apa yang aku inginkan. Aku sengaja tidur dengan kekasihku sampai aku hamil dan berkabar kepada orang tuaku agar perjodohan tidak pernah terjadi dalam hidupku. Aku tidak bisa membayangkan hidup dengan orang yang tidak aku inginkan dan tidak mencintainya. Aku tak ingin menjadi seperti kakak-kakakku yang dijodohkan dengan keturunan kiai dan dia menjadi seorang bu nyai. Aku sengaja merusak citra semua itu dan aku ingin memperbaikinya kembali.”

Mulanya aku tidak mengerti apa maksud dari surat yang Yulia tulis. Lalu, aku menunjukkannya kepada Bu Nyai agar mendapat penjelasan. Beliau tidak bisa menjelaskan dan memintaku menyimpan surat itu untuk tidak menyebarluaskannya. Sejak peristiwa kehamilan Yulia, hanya akulah santri yang bertahan tinggal karena yang lainnya memutuskan untuk pindah ke pesantren lain.

Orang tua Yulia menganggapku seperti anaknya sendiri. Beliau mengizinkanku keluar dari pesantren ketika aku menikah. Tapi sayang, aku tidak juga menikah sampai usia dua puluh lima tahun, sedangkan teman-teman seumuranku sudah mempunyai anak usia tiga tahun. Akhirnya, aku dijodohkan oleh orang tuaku. Aku keluar dari pesantren dan menikah.

Pada umumnya, wanita di desaku akan menjadi wanita yang merawat rumah, ladang, ternak, dan keluarga. Sedangkan, aku, selama lulus SD sudah tinggal di pesantren yang di sana tidak diajari bagaimana beternak, bagaimana bertani, dan hanya memasak untuk makan bersama santri yang lain. Hari-hari menghabiskan waktu hanya dengan mengaji Al-Qur’an, menyimak Pak Kiai menjelaskan kitab-kitab kuning—yang salah satunya kitab Qurrotul Uyun, tentang hubungan suami istri, tentang tata cara bersenggama. Yang selalu kuingat adalah nasihat di dalamnya tentang penjelasan untuk memuaskan pasangannya. Dan, di pesantren kami diajarkan hidup sederhana.

Jadi, pertama-tama yang aku lakukan saat menikah adalah mengenal silsilah keluarga suamiku, menghafalkan nama-nama saudara dari suamiku, membuatkannya kopi di pagi hari. Kami ke ladang bersama mencari rumput sampai azan zuhur. Lalu kami pulang, mandi, salat, makan siang, dan istirahat.

Semenjak menikah, aku tidak pernah memikirkan surat-surat yang dikirim Yulia, bagaimana kehidupannya di Surabaya. Kehidupanku sendiri sudah sangat tidak membuatku diam melamun. Pekerjaan rumah yang tak pernah selesai, dan aku harus melupakan segala keinginan-keinginanku tentang cita-cita. Saat ini, misi dalam hidupku hanyalah tiga hal di tersebut.

Sesekali aku berkirim kabar tentang Pak Kiai yang dengan sabar merawat Bu Nyai yang sedang sakit—tidak bisa bangun dari tempat tidur—yang kata orang desa semua itu adalah karma yang harus dibayar. Berkabar tentang pernikahanku, tentang kehidupan seadanya yang aku jalani. Aku mengikuti rutinan pengajian bersama ibu-ibu setiap hari Jumat sore, sedangkan para suami mempunyai kegiatan kelompok tani yang diadakan setiap malam Minggu.

Kabar duka datang dari Pak Kiai. “Innalillahi wainnailaihi rojiun, telah meninggal dunia Bu Nyaiku,” Ibu dari sahabatku, Yulia.

Aku, yang waktu itu sedang di ladang, berlari berteriak memanggil orang-orang yang lagi sibuk mencari rumput untuk sapi-sapi mereka.

“Ayo, ke pesantren! Bu Nyai Khasanah meninggal!” aku berteriak sambil menangis.

Semua orang berlari mengikutiku. Setelah sampai di pesantren, aku melihat Yulia duduk bersimpuh di depan jenazah Bu Nyai. Aku spontan memeluknya. Itu adalah pertama kali aku melihatnya setelah dia meninggalkan desa.

Seluruh warga desa datang ke rumah duka. Pak Kiai menunduk di depan para pentakziah. Ketika jenazah sudah siap disalatkan, Pak Kiai berdiri, beranjak ke masjid yang ada di dekat pesantren. Warga bergegas ikut menyalati jenazah.

Sebelum jenazah diberangkatkan ke pemakaman, Pak Kiai memberikan sambutan atau penghormatan terakhir kepada almarhum istrinya. Beliau meminta maaf atas nama keluarga dan anak-anak, memohon untuk dimaafkan segala kesalahan keluarganya, dan mengucapkan terima kasih kepada seluruh warga desa yang hadir di rumah duka. Pernyataan Pak Kiai yang tak akan pernah aku lupakan adalah, “Anak-anak adalah ujian bagi orang tuanya sekaligus rezeki.”

Malang, 2025.

Sumber ilustrasi: karya jeihan sukmantoro, wix.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan