Dalam masyarakat pesantren, istilah Sullam Safinah sering kita dengar sebagai nama jenjang pendidikan di masa lalu. Ia dinisbatkan sebagai jenjang yang cukup setelah menyelesaikan jenjang iqra dan khatam Al-Qur’an.
Dalam satu lelucon di Madura, jenjang itu disebut S2 (strata dua), yang berarti seseorang telah khatam mengkaji dua kitab fikih di langgar di masanya.

Demikian sebab Sullam Safinah merupakan istilah masyarakat dalam menyebut dua kitab fikih mazhab Syafi’i karya dua ulama dari kota Tarim, Yaman. Yakni, Sullam al-Taufiq karya Syeikh Abdullah bin Husain al-Hadhrami dan Safinat al-Najat karya Syaikh Salim bin Samir al-Hadrami.
Dalam tulisan berjudul “Ini Dia Penjelasan Istilah Sullam Safinah” di laman galerikitabkuning.com, dikatakan bahwa istilah tersebut muncul dari perkembangan kultur masyarakat muslim Indonesia bersamaan dengan proses islamisasi. Kitab tersebut dipilih sebab ringkas, mudah dipahami, dan sesuai dengan keterbatasan ekonomi dan akses pendidikan di masa itu.
Kim Al Ghozali juga menyebut istilah itu dalam puisi berjudul “Himne Bagi Leluhur” yang termuat dalam buku Api Kata (2017 M). Sastrawan yang lahir di Probolinggo pada 12 Desember 1991 M dalam puisi itu melukiskan leluhurnya yang religius, serta menjadi bagian dari tuntunan dalam hidupnya.
Dari sini dapat digambarkan bagaimana dua kitab tersebut eksis di masyarakat sejak abad ke-19 M. Hal itu diperkuat dengan keberadaan apresiasi akademis seperti ringkasan, komentar, dan mandzumat (gubahan nadhzam) dari kedua kitab tersebut yang dilakukan ulama Nusantara.
Tentu apresiasi dan ketokohan para akademisi itu juga mendorong eksistensi dua kitab tersebut. Sebut saja seperti kitab Kasyifat al-Saja ‘Ala Safinat al-Naja dan Mirqotu Shu’ud al-Tashdiq fi Syarh Sullam al-Taufiq karya Syeikh Nawawi Banten, Mandzumah Sullam al-Taufiq karya KH Abdul Hamid pasuruan, Sullamul al-Raja karya Syaikh Utsman Tangkil Jambi, dan Tanwir al-Hija Nadzam Safinat al-Naja karya KH Ahmad Qusyairi bin Shiddiq Pasuruan.
Jika dilihat berdasarkan isi, keduanya memang merupakan kitab ringkas yang memuat trilogi keilmuan dalam Islam yang krusial bagi masyarakat, yakni ilmu tauhid, fikih, tasawuf. Jadi sudah barang tentu, dua kitab itu menjadi pilihan terbaik untuk mencukupi kebutuhan teologis di masa lalu. Namun, tentu ada hal lain yang mempengaruhi kelekatan dua kitab tersebut dalam wawasan intelektual masyarakat dan kompilasi terbitannya.
Alasan tersebut bagi penulis kurang bisa menjawab fenomena keberlanjutan kajian dua kitab tersebut di tengah kemudahan akses pendidikan saat ini. Di mana banyak lembaga dan organisasi masyarakat yang masih menjadikan dua kitab tersebut sebagai bahan ajar dalam kegiatannya. Bahkan kompilasi dan penerjemahan dari dua kitab matan tersebut masih dilakukan sampai saat ini, misalnya Hidayat al-Bidayat: Terjemahan Perkata Indonesia Safinah an Najah dan Sullam at Taufiq karya Muhammad Sholihin di tahun 2022.
Jawaban rasional dari hal itu adalah sebagai dan sebab pelestarian budaya dan penyediaan bahan ajar. Dalam hal ini penulis sendiri melihat bahwa fenomena itu juga disebabkan oleh keserasian dua kitab tersebut. Sebab, keduanya memiliki muatan yang saling melengkapi satu sama lain.
Sebagaimana dapat diamati dari adanya dimensi tasawuf dalam kitab Sullam seperti ikhlas dan maksiat, serta, jual beli, riba dan nafkah yang tidak dimuat kitab Safinah. Sebaliknya, kitab Sullam tidak memuat penjelasan rinci tentang Ubudiyah seperti Jama’-Qasar, pembagian aurat, syarat imam dan makmum, serta hal lain yang bisa didapati dalam kitab Safinah.
Dengan kata lain, hal ini merupakan kesengajaan para pengajar untuk memenuhi kebutuhan teologis dengan bahan ajar yang ringkas dan mudah dipahami guna merangkap tiga ilmu pokok di atas.
Keserasian lain dapat diamati melalui analogi dari nama masing-masing kitab. Sullam al-Taufiq Ila Mahabbatillah ‘Ala al-Taufiq dapat kita artikan sebagai ‘tangga mendapat pertolongan Allah menuju cinta-Nya yang pasti’, sementara Safinat al-Naja Fi Ma Yajibu ‘Ala al-’Abdi li al-Maulah dapat kita artikan ‘perahu keselamatan mengenai hal-hal yang wajib atas manusia untuk Tuhannya’.
Maksudnya, bagaimana mungkin seseorang bisa naik perahu jika tanpa tangga? Artinya tanpa keduanya pelayaran sulit dilakukan. Begitulah kiranya apa yang saya tangkap dari keterangan guru saya secara lisan dan temurun.
Meski begitu, bukan berarti tidak ada kitab lain yang bisa menggantikan salah satunya. Namun dalam konteks fenomena ini, alasan tersebut juga masuk akal bagi penulis.
Analogi tersebut akan sedikit beralasan jika kita bergeser pada apa yang diibaratkan Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyathi dalam Kifayat al-Atqiya’ wa al-Minhaj al-Ashfiya. Dijelaskan bahwa takwa hakikatnya merupakan interkoneksi dari syariat (pengamalan), hakikat (kebenaran), dan makrifat (pengetahuan) melalui tarekat (proses atau jalan).
Dalam kitab tersebut, syariat diibaratkan perahu, tarekat sebagai lautan, hakikat adalah pulau yang dituju, sedang makrifat adalah tujuan dari perjalanan, yakni pertemuan dengan pemilik pulau (Allah) (al-Dimyathi, Kifayat al-Atqiya’, Dar al-Kutub al-ilmiyah: 2013, 39). Wa Allahu al-‘A’lam.