Di kota ini, segalanya terasa sebagai kesenduan. Jeritan anak-anak yang menggigil ketakutan. Tangisan perempuan-perempuan yang mencari perlindungan. Negeri bukan lagi tempat yang nyaman untuk menyulam kebahagiaan. Tidak pernah ada kedamaian. Tidak pernah ada ketenangan. Kota Suci ini seperti dosa yang pelan-pelan ingin dihapuskan.
***
Lolongan mortir melaung tinggi. Raungan sirine memekak keras. Suara berondongan peluru terdengar dari halaman rumah. Aku segera lari untuk mencari tempat berlindung. Kutahu, di tempat ini bahkan di setiap sudut kota ini sudah tidak ada lagi tempat yang aman. Lubang tikus sekali pun akan turut diperiksanya. Namun, aku juga tidak mungkin pasrah dengan keadaan.
Dari bawah kolong ranjang, aku memeluk erat tubuh Rawiyah, adikku. Aku katakan padanya bahwa itu bukan suara peluru, melainkan pesta kembang api. Aku terus membujuknya untuk berhenti menangis. Sebab, aku tak ingin kami berdua mati di tangan tentara Zionis itu. Aku terus merapal doa. Seandainya terdapat alat canggih yang mampu menghitung seberapa banyak doa-doaku selama ini, mungkin lebih banyak dari puing-puing bangunan yang hancur bersebab roket yang mereka luncurkan.
Dari luar, terdengar suara jeritan menyayat hati. Sungguh, waktu antara Magrib dan Isya ini, aku merasa sudah berada di ambang kematian. Biar pun pasrah dengan kehendak-Nya, namun aku masih mengucap harap: semoga kiranya mereka tidak mengendus keberadaan kami.
Terdengar suara pintu didobrak. Derap langkah perlahan kian mendekat. Aku semakin gencar melesatkan doa-doa. Tangan kananku masih erat mendekap tubuh mungil Rawiyah. Sementara tangan kiriku untuk menyumpal mulutnya agar berhenti menangis. Sungguh, aku tak tega melakukannya. Tetapi, aku juga tak ada pilihan lain.
Dari bawah kolong ranjang, aku melihat laki-laki bertubuh kekar menenteng senjata. Matanya awas menyelidik sekitar. Langkahnya semakin mendekati kami. Dibukanya selimut yang aku biarkan terulur ke lantai. Tubuhnya menunduk. Laki-laki itu tersenyum menyeringai tatkala mendapati mangsa kecil yang tengah menggigil ketakutan di hadapannya. Namun, laki-laki itu tidak menembaki kami satu per satu. Justru ia merebut paksa Rawiyah dariku.