Beberapa waktu lalu kita telah dihebohkan oleh penyanyi cilik asal Banyuwangi yang mempunyai talenta hebat, mental yang kuat, dan performa yang memikat. Dia tak lain adalah Farel Prayoga.
Banyuwangi, kota yang dijuluki The Sunrise of Java di Provinsi Jawa Timur, ini teryata dalam sejarahnya tidak hanya melahirkan banyak bibit-bibit unggul di bidang seni musik, tetapi juga mencetak kader mufasir yang mahir menguraikan kalam-kalam Ilahi. Sebagai contoh adalah KH Suhaimi Rafiuddin yang sangat kompeten dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an melalui karya tafsirnya yang berjudul Tafsīr al-Qur’ān Berbahāsā Indonesia.
Bagaimana proses kreatif lahirnya karya tafsir tersebut? Mari kita telaah dengan saksama ulasan sederhana di bawah ini!
Awal Masa Penulisan
Berbagai sumber baik secara lisan maupun tulisan tidak ada satu pun yang mengungkap terkait kapan Kiai Suhaimi mulai menulis Tafsīr al-Qur’ān Berbahāsā Indonesia. Hal ini tentu sangat sukar untuk menentukan secara pasti kapan sebetulnya tafsir ini mulai ditulis. Namun, perlu diketahui bahwa penulisan tafsir ini belum sepenuhnya selesai.
Tafsīr al-Qur’ān Berbahāsā Indonesia pada awalnya direncanakan sebagai karya tafsir yang memuat penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an lengkap 30 juz. Namun sayang, dalam perjalanannya tafsir ini tidak sesuai ekspektasi. Penulisannya harus terhenti pada penafsiran QS. al-Baqarah/2: 36, karena di tahun 1982, Kiai Suhaimi wafat di usianya yang ke-63 tahun.
Jika Kiai Suhaimi wafat pada tahun 1982, maka bisa diasumsikan bahwa Tafsīr al-Qur’ān Berbahāsā Indonesia ditulis tidak jauh dari sebelum tahun wafatnya itu. Dalam artian, kemungkinan besar Kiai Suhaimi menulis karya tafsirnya tersebut pada tahun 1980 atau 1981. Sebab, penafsiran yang termaktub masih terbilang sedikit, yakni baru sampai pada penafsiran QS. Al-Baqarah/2: 36, dari yang semula targetnya adalah menafsirkan seluruh ayat-ayat di dalam Al-Qur’an.
Motivasi Awal Penulisan
Jika ditelisik secara mendalam antara rekam jejak perjalanan intelektual dan produktivitas menulis Kiai Suhaimi, keduanya tampak mempunyai relasi yang saling bersinergi. Hampir setiap disiplin ilmu yang telah dipelajari dari guru-gurunya, sebisa mungkin ia abadikan ke dalam sebuah karya tulisan.
Hal tersebut terbukti, misalnya sesudah matang belajar memahami pelajaran fikih, kemudian ia menulis karya di bidang fikih berjudul Bāb al-Zakāt dan Bahjah al-Saniyyah li Syarḥ al-Safīnah. Setelah tuntas belajar nahu, lalu ia menulis karya di bidang nahu berjudul al-Risālah al-Saniyyah li Qawā’id al-Naḥwiyyah. Pasca paripurna belajar tafsir, ia lantas menulis karya tafsir yang diberi nama Tafsīr al-Qur’ān Berbahāsā Indonesia. Dan beberapa disiplin ilmu lain yang setelah mempelajarinya, ia juga mengimplementasikan dalam bentuk karya tulisan.
Dari sini dapat dipahami bahwa motivasi atau dorongan awal Kiai Suhaimi menulis Tafsīr al-Qur’ān Berbahāsā Indonesia adalah dalam rangka mempublikasikan ilmu yang telah ia pelajari. Ia tidak ingin menjadi tipikal orang yang menyembunyikan ilmu. Ia ingin mengamalkan sunah-sunah Nabi dengan cara menyampaikan risalahnya walau hanya melalui beberapa alenia. Ia beriktikad agar bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama, dengan cara dakwah bi al-kitābah mengurai secara gamblang terkait makna yang terkandung di dalam al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup bagi setiap insan.
Ruang Basis Penulisan Tafsir
Ruang basis penulisan tafsir yang dimaksudkan di sini adalah tinjauan terhadap dimensi di saat apa karya tafsir itu ditulis dan dipublikasikan oleh penulisnya. Islah Gusmian dalam artikelnya, “Tafsir al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika”, Nun, Vol.1, No.1, 2015, mengkategorikan persoalan ini ke dalam lima bagian: 1) tafsir Al-Qur’an yang ditulis dalam ruang basis politik kekuasaan atau negara; 2) tafsir Al-Qur’an yang ditulis di lingkungan dan basis sosial pesantren; 3) tafsir Al-Qur’an yang ditulis saat penulisnya aktif di lembaga pendidikan formal; 4) tafsir Al-Qur’an yang ditulis dari dalam ruang organisasi sosial Islam; 5) dan tafsir Al-Qur’an yang ditulis di luar empat basis tersebut.
Berdasarkan kategorisasi Islah Gusmian tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa Tafsīr al-Qur’ān Berbahāsā Indonesia ditulis dari dalam ruang organisasi sosial Islam. Dikatakan demikian, sebab Kiai Suhaimi adalah seorang aktivis Nahdlatul Ulama. Tercatat, berdasarkan hasil konferensi cabang NU Banyuwangi tahun 1975, ia masih mendapat amanah menjadi bagian dari kepengurusan PCNU Banyuwangi.
Tafsīr al-Qur’ān Berbahāsā Indonesia yang diperkirakan ditulis antara tahun 1980 dan atau 1981, kemudian Kiai Suhaimi wafat di tahun 1982, maka dapat dipastikan hingga akhir hayatnya ia masih tetap istikamah menjadi seorang aktivis NU untuk berdakwah demi kemaslahatan umat. Oleh karena itulah, karya tafsir ini ditulis dari dalam ruang organisasi sosial Islam. Wa Allāh A’lam.