Saat anak-anak seusianya bisa menulis, membaca, dan menghafal nama-nama nabi dan malaikat beserta tugas-tugasnya, Ipang hanya tahu dari hasil menguping bahwa huruf yang lurus itu bernama Alif dan yang seperti sampan bertitik satu di bawahnya itu adalah Ba’.
Itulah sebabnya setiap kali hendak pergi mengemis, ia tak lupa menyambangi jendela surau Kiai Amir untuk sekadar mendengar apa yang diajarkan Kiai Amir kepada santri-santrinya. Bentuk huruf yang ia dengar itu sesekali ia coba tulis dengan jari telunjuknya pada kaca jendela surau yang sedikit berdebu. Lantas ia tersenyum meski tak melihat huruf yang ia tulis itu.
Lahir sebagai tunanetra, membuat Ipang belajar mencari jalan terang di balik kegelapan yang abadi dengan bantuan sebatang tongkat. Pagi hari, saat anak-anak seusianya pergi ke sekolah dengan cakap-canda-tawa yang ceria, ia hanya bisa berpapasan, menghirup tubuh mereka yang wangi, mendengar obrolan mereka yang bahagia, seraya mencoba menerka beberapa kata yang diperbincangkan mereka seperti pizza, game, sepeda baru, tamasya, dan beberapa hal lain yang bagi Ipang tidak pernah ia temui dalam hidupnya. Dan selebihnya, tak jarang ia menerima ejekan dari anak-anak itu dengan sebutan yang menyakitkan, membuat kedua matanya yang tertutup rapat mengalirkan butiran bening.
Mulki, seorang bos anak jalanan mengambil Ipang dari orangtuanya secara paksa ketika ia berumur tujuh tahun lantaran kedua orang tuanya tak bisa membayar utang kepada Mulki. Sejak saat itu, ia disuruh mengemis atau kadang memulung sampah. Jika sudah menyetor hasil mengemis atau hasil memulung sampah, barulah Mulki memberinya nasi. Tapi jika ia pulang dengan tangan hampa atau dengan perolehan yang sedikit, Mulki akan memarahi bahkan kadang memukulnya hingga menangis, dan upahnya cuma sebungkus kerupuk yang harus dimakan dengan tiga buah cabai pedas tanpa sisa.
Peristiwa demi peristiwa yang mencambuk dirinya nyaris membuat Ipang putus asa. Beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang lembut, tapi ia teringat Kiai Amir dan seseorang bernama Nabi Muhammad yang sering ia ceritakan kepada santrinya sebagai orang mulia, rendah hati, sabar, dan tegar menghadapi cobaan.
***
Pagi itu Ipang berangkat enam menit sesudah subuh ketika jalanan masih gelap. Ia berpikir, gelap dan terang sama saja, keduanya tetap berwarna hitam bagi seorang tunanetra seperti dirinya. Ipang rela menapak jalan yang lengang, gelap, dan dingin demi memenuhi keinginannya untuk bertemu Kiai Amir sebelum ia mengajar kitab di suraunya. Ipang ingin bertanya lebih lanjut perihal Nabi Muhammad.
Setelah menunggu beberapa menit sambil duduk menahan dingin di bawah sebatang pohon, akhirnya Kiai Amir melintas di jalan kecil yang menghubungkan rumah dan suraunya. Suara batuk Kiai Amir sudah Ipang hafal, sehinga ia langsung bersalaman dengan mencium punggung tangan Kiai Amir.
Dengan polos, ia mengaku bahwa hampir setiap pagi dirinya diam-diam mengikuti pengajian kitab yang diajarkan Kiai Amir di balik jendela surau. Cerita Nabi Muhammadlah yang membuat dirinya selalu ingin mendekat ke jendela untuk mendengarnya hingga tuntas. Ipang menyimpulkan sebagian cerita apa yang pernah disampaikan Kiai Amir. Kiai Amir tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Nabi Muhammad kan sudah wafat, Kiai. Bagaimana caranya jika saya ingin bertemu dengannya. Saya ingin minta didoakan supaya mata saya bisa melihat.”
Kiai Amir tersenyum, ada butiran air mata haru dari kedua sudut matanya.
“Caranya ada dua hal; rajin baca selawat dan tirulah sikap beliau.”
“Selawat? Apa itu, Kiai?”
Kiai Amir melepas pelukannya. Perlahan ia jongkok hingga tingginya setara dengan Ipang. Kedua tangannya bertumpu di kedua bahu Ipang.
“Selawat itu doa kita untuk Nabi Muhammad. Selawat banyak macamnya. Ada selawat Nariyah, selawat Syifa’, selawat Asyghil, dan lainnya. Tapi yang paling simpel bacaanya begini, allahumma sholli ‘ala Muhammad.”
Ipang mengangguk dan meminta Kiai Amir mengulanginya dua kali lagi. Lalu ia menirunya pelan, mengulanginya lagi, dan lagi hingga ia fasih.
“Bacaan selawat yang dibaca pada sewadah air, maka airnya akan barokah, bisa menyembuhkan banyak penyakit, baik penyakit raga maupun penyakit jiwa. Dan yang paling penting, siapa yang rajin baca selawat, kelak di akhirat akan mendapat syafaat dari Nabi Muhammad,” imbuh Kiai Amir.
“O, begitu, Kiai. Sungguh luar biasa manfaat selawat ya, Kiai. Terima kasih atas kabar ini, Kiai.”
Kiai Amir tersenyum, mengamati wajah Ipang yang seperti menyimpan kecintaan kepada Sang Nabi di balik kedua matanya yang tak bisa melihat.
***
Mulki duduk berselonjor di lincak kayu sembari menyalakan rokok diselingi minuman dan camilan. Keadaan sedikit senyap, karena di kamar sebelah, rekan-rekan Ipang, bocah-bocah pemulung dan pengemis lainnya anak buah Mulki itu, sudah tidur. Mulki terus memarahi Ipang yang duduk bergeming di lantai kotor sambil menggosokkan telunjuknya pada sekumpulan debu, sesekali mengatur gerak telunjuknya itu membentuk haruf Alif atau Ba’, lalu menghapusnya, menulisnya kembali, kemudian purna dihapus saat kedua tangannya menyatu di betisnya yang tengah bersila.
Meski malam semakin larut, sekadar menyisakan sunyi dan geletar angin, Mulki tetap menyaringkan suaranya, ia membentak-bentak Ipang karena perolehan mengemis yang sedikit. Saat batang rokoknya memendek jadi puntung, ia melemparkannya ke wajah Ipang.
Ipang hanya menunduk, seperti telah biasa menerima perlakuan kasar yang menyakiti jiwa dan raganya itu. Andai dalam benaknya tidak ingat kepada Nabi Muhammad, ingin segera dirinya bunuh diri. Tapi ketika ingat cerita Kiai Amir, ia merasa malu jika sampai bunuh diri, Nabi Muhammad sejak kecil juga hidup dalam penderitaan, namun ia tegar dan tabah.
Malam itu, setelah Mulki tertidur karena kelelahan sesudah marah-marah. Perlahan Ipang beranjak ke dapur. Mengambil sebotol air. Ia lalu duduk bersila dan membaca selawat di kamar sempitnya yang kumuh; botol itu diabaikan terbuka di depannya. Meski malam semakin larut dan merasa lelah, tapi ia menemukan kenikmatan saat membaca selawat, serasa bibirnya yang bergetar tak ingin mengakhiri bacaan itu, serasa Nabi Muhammad hadir dan mengelus kepala Ipang penuh kasih. Menjelang subuh, ia meraih sebotol air di hadapannya, lalu meneguknya beberapa kali. Ipang merasakan air itu tidak sekadar menghadirkan kesegaran pada raganya, melainkan juga membawa kesejukan pada jiwanya.
Seusai salat subuh, Ipang beranjak ke kamar sebelah, suara dengkur Mulki menyaingi kicau burung kecil yang terdengar dari arah ventilasi. Tangan Ipang meraba barang-barang di sekitar tubuh Mulki dan berhenti saat menyentuh guci keramik berisi air. Ipang tahu, itu air yang biasa diminum Mulki. Ipang merogoh sebotol air miliknya, lekas memutar tutupnya hingga terbuka, kemudian ia tuangkan ke dalam guci keramik dengan hati-hati. Bunyi air itu sebentar membuat Mulki menggeliat sebelum akhirnya mendengkur lagi.
Seperti biasa, Ipang pamit kepada Mulki yang masih tidur, dan Mulki menjawab sekenanya. Pagi itu Ipang melangkahkan kaki dengan perasaan yang lebih bahagia dari hari-hari sebelumnya, sebab ia merasa punya teman baru berupa sebotol air selawat yang tersimpan di saku bajunya. Ia anggap sebotol air itu sebagai penerang dalam kebutaannya.
***
Petang itu, ketika Ipang baru saja selesai salat maghrib, Mulki mendatangi kamar Ipang dan duduk di sebelahnya, pada sisa hamparan sajadah yang menyentuh tembok. Kedatangan Mulki yang tiba-tiba, membuat Ipang sedikit panik karena ia tak sempat mengamankan sebotol air selawat yang ditaruh di depannya. Tapi Mulki tak beraksi apa-apa, Ipang hanya mendengar napas Mulki yang teratur pertanda ia tetap duduk tenang dan tidak ada tanda-tanda untuk marah. Ipang terus membaca selawat dengan pelalafalan yang lirih. Kesunyuian setelah maghrib seolah bentang laut tenang untuk melarung sampan rindunya kepada Nabi Muhammad.
“Pang,” tangan Mulki menyentuh pelan bahu Ipang.
“Iya, Om.”
“Hari demi hari rasanya aku tidak semakin nyaman hidup seperti ini. Usia terus berkurang dan sudah pasti mendekati mati,” Mulki menghentikan pembicaraannya. Ipang masih terdiam, tak berani merespons karena belum tahu ke mana arah pembicaraan Mulki. Keduanya diterpa senyap.
“Aku ingin kamu kukembalikan kepada orang tuamu, begitu juga anak buahku yang lain, semua akan kukembalikan kepada orang tuanya,” ungkap Mulki sembari memijat bahu Ipang pelan-pelan. Kata-kata Mulki membuat Ipang terperanjat antara bahagia dan tak percaya.
“Lalu, Om Mulki akan mau ke mana?”
“Aku juga rindu keluarga di kampung. Aku ingin tinggal bersama anak dan istri, serta ingin hidup wajar dengan bekerja sebagaimana mestinya seperti dulu.”
Suara Mulki agak bergetar seperti menahan tangis. Ipang hanya membisu, bibirnya rapat terkatup, kecuali hanya jemari tangan kanannya yang meremas-remas botol di depannya perlahan hingga menimbulkan bunyi yang ber-kriyek-kriyek.
Ipang teringat pada apa yang ia lakukan setiap subuh, sesaat sebelum pergi mengemis; senantiasa tak melewatkan kesempatan untuk mericikkan air selawat itu ke dalam air minum Mulki dalam guci keramik. Ipang yakin bahwa sikap lembut Mulki kemungkinan besar karena pengaruh dari air selawat.
***
Ipang tak pernah menduga, sepasang kakinya kembali bisa menapak halaman rumahnya seperti pagi itu. Meski ia harus menyunggi dan memikul kardus berat sekitar setengah kilometer dari jalan raya menuju rumahnya, tapi terasa tak ada beban sama sekali oleh sebab rasa kebahagiaan yang membuncah. Orang-orang menyapanya dengan nada penuh keceriaan, seolah mereka mendapati kembali sebutir mutiara yang pernah hilang.
Kerabat dan tetangganya berdatangan, menyapa dengan isak tangis haru. Ipang pun tak bisa menahan air mata harunya, terlebih setelah mencium telapak tangan dan memeluk kedua orangtuanya. Beberapa saat kemudian, Ipang mengeluarkan sebotol air selawat dari saku bajunya. Ia mengangkat botol itu agak tinggi setara wajahnya. Ia ingin melihat bayangan wajahnya yang bahagia di bening air dalam botol itu. Tapi sia-sia.
ilustrasi: lukisan jeihan sukmantoro.