Selimut Tuhan

70 views

Seperti biasa, suasana di Mega Busana begitu ramai. Toko ini menyediakan berbagai macam jenis kebutuhan sandang. Baju, celana, koko, mukena, selimut, dan kebutuhan berbahan kain lainnya dengan variasi model yang berbeda-beda semua tersedia di Mega Busana.

Toko Mega Busana banyak dikunjungi oleh warga lokal dan wisatawan dari jauh. Toko ini tak pernah sepi pembeli karena barangnya yang dijual berkualitas dengan harga murah. Terutama pada malam hari, pegawai toko makin disibukkan dengan pengunjung yang berdatangan tanpa henti. Sang pemilik toko memperhatikan tokonya yang ramai dengan pandangan yang riang. Alhamdulillah, pujinya dalam hati tanpa henti.

Advertisements

Musim hujan datang diiringi angin yang terkadang rewel dengan terpaannya yang kencang. Di sela deras  air hujan mengguyur jalan dan mobil pengunjung yang berdatangan, muncul lelaki tua dengan pakaian lusuh menatap isi toko dari luar kaca. Pandangannya berisikan rasa ingin untuk mendekat, tapi kakinya tertahan oleh isi kantung yang diraba oleh jemarinya. Fakir miskin, kata mata para pengunjung yang melihatnya. Para pengunjung mmandanginya dengan aneh, tapi tidak dengan pemilik toko.

“Bapak mencari apa?” tanya pemilik toko dengan nada santun.

“Saya ingin beli selimut empat helai untuk saya dan istri anak saya. Tapi….” Lelaki tua itu terhenti berkata sambil menghitung lembar dan recehan yang diambil dari sakunya.

“Tapi kenapa, Pak?”

“Saya hanya punya uang empat puluh ribu. Apa cukup untuk membeli empat helai selimut? Tak perlu bagus. Yang penting bisa menghangatkan tubuh dari hawa dingin,” kata lelaki tua tersebut.

“Oh, tentu sangat cukup, Pak. Saya punya selimut bagus dari Turki. Harganya murah Cuma dua belas ribu saja. Kalau Bapak beli tiga, kaya kasih bonus satu,” jawab sang pemilik toko sigap.

Lega, wajah lelaki tua itu berbinar saat menerima selimut yang masih sangat bagus. Ia menyodorkan uang tiga puluh ribu, lalu pulang dengan riang sambil sesekali menghirup selimut yang masih beraroma toko.

Seorang teman yang sering berkunjung sedari tadi melihat dan mendengar percakapan si pemilik toko dengan si lelaki tua tersebut. Ia kemudian bertanya penuh keheranan.

“Tadi itu tak salah? Kau bilang selimut itu yang paling bagus dan mahal yang ada di tokomu ini. Kemarin kau menjual kepada pengunjung lain harganya dua ratus ribu. Sekarang kau jual kepada lelaki tua itu cuma dua belas ribu, dapat bonus lagi.”

“Benar. Memang harga selimut itu dua ratus ribu, dan aku menjual pada pelanggan kemarin dengan harga tidak kurang dan tidak pula lebih. Tetapi kemarin aku berdagang dengan manusia, dan malam ini baru saja aku berdagang dengan Allah.”

Pemilik toko kemudian berkata lagi lirik kepada temannya, “Demi Allah, sesungguhnya aku tak menginginkan uang dari lelaki tua itu sedikitpun. Hanya saja aku ingin menjaga harga dirinya agar dia seolah tidak sedang menerima sedekah dariku sehingga bisa membuatnya malu.”

Keduanya sejenak menghela napas sambil memerhatikan punggung lelaki tua yang perlahan menghilang ditelan malam yang basah.

“Demi Allah! Aku hanya ingin lelaki tua itu dan keluaganya merasakan kehangatan di saat malam datang membawa angin dan hujan. Sungguh aku sangat bahagia ketika selimut itu menjadikan malam mereka terasa nyaman dalam kehangatan.”

Ilustrasi: lukisan Erizal AS.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan