Gairah tinggi untuk merayakan Hari Santri Nasional (HSN) 2025 juga terasa di daerah eks-transmigrasi. Salah satunya di Desa Andoolo Utama, Kecamatan Buke, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Bahkan, di desa eks-transmigrasi itu, Hari Santri yang jatuh pada Rabu, 22 Oktober 2025, dirayakan selama beberapa hari.

Setidaknya itulah yang diamati oleh Tim Ekspedisi Patriot (TEP) 15 Universitas Indonesia (UI) yang sejak awal September hingga Desember nanti melakukan penelitian di daerah-daerah eks-transmigrasi.

Sehari sebelum Hari Santri, misalnya, di Pondok Pesantren Minhajut Thullab di Desa Andoolo Utama digelar seminar “Ngaji Ekonomi”. Kegiatan ini didukung Pegadaian Syariah Kendari, yang sekaligus melakukan sosialisasi tentang pegadaian syariah.
Tepat pada Hari Santri, Rabu pagi, di Pesantren Minhajut Thullab digelar upacara bendera. Apel ini dimeriahkan penampilan silat dari santri Madrasah Ibtidaiyah Minhajut Thullab. Setelah itu, para santri menyuguhkan pertunjukan tari saman dan drama singkat dengan cerita KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Hari berikutnya, Kamis 23 Oktober 2025, digelar lagi “Ngaji Ekonomi”. Kali ini ada dua materi ngaji ekonomi, yaitu tentang “Bank Syariah Indonesia Gold to Baitullah” dan “Prtanian Milenial”. Rangkaian perayaan Hari Santri ditutup pada Kamis malam, berupa syukuran dan makan bersama.
Pesantren Mandiri
Dalam pengamatan Tim Ekspedisi Patriot (TEP) 15 UI, Pesantren Minhajut Thullab tumbuh di tengah heterogenitas masyarakat transmigran yang berasal dari beragam latar belakang. Program transmigrasi, yang mendatangkan penduduk dari berbagai daerah di Indonesia, dimulai sejak 1963. Karena itu, di kawasan eks-transmigrasi ini penduduknya sangat heterogen. Keberadaan Pesantren Minhajut Thullab yang mulai dirintis sejak 2008 ini seakan menjadi simpul pendidikan, dakwah, dan akulturasi budaya penduduknya.
Hal tersebut diakui Ustaz Wildan Habibie Arif, pendiri sekaligus pimpinan Pesantren Minhajut Thullab. Menurutnya, pesantren ini awalnya dari masjid yang terbengkalai. “Konsepnya menata bata demi bata. Waktu itu saya masih 23 tahun, bismillah, kita dedikasikan kehidupan untuk hidup di sini. Tentu semua ini by process, tidak langsung jadi,” ujarnya dalam kantor utama Pesantren MT pada Minggu, (19/10/2025).
Namun, diakuinya, perjuangan mendirikan pesantren bukan tanpa tantangan. “Tahun 2008 di sini, orang masuk masjid masih pakai sandal. Bahkan orang pakai sarung pun dianggap aneh,” tambahnya. Tapi dari keterasingan itu, tumbuh benih perubahan.
Mengambil semangat dakwah ala Wali Songo yang menyebarkan Islam dengan pendekatan budaya, Ustaz Wildan menjadikan masjid bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga ruang perjumpaan antarbudaya. “Saya bikin voli, pawai ta’aruf, reog, sampai baleganjur. Biar masyarakat merasa bebas masuk masjid,” katanya sambil tersenyum.
Kini, pesantren yang lahir dari semangat itu bukan hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga wadah pembauran sosial bagi masyarakat transmigran di wilayah Andoolo Utama. Dari awal yang sederhana, Minhajut Thullab tumbuh pesat bersama masyarakatnya.
“Alhamdulillah, dulu santrinya hanya empat orang. Lalu jadi delapan, dua puluh, dan kini mencapai lebih dari 500 santri,” kenang Ustaz Wildan. “Awalnya cuma dari TPQ anak-anak, kemudian berkembang jadi MI. Dari situ personal branding pesantren mulai terbentuk.”
Dengan kurikulum berbasis ketuntasan dan penguatan Madrasah Diniyah, pesantren ini berupaya membangun sistem pendidikan yang tidak hanya fokus pada ilmu agama, tapi juga pada pembentukan karakter dan kemandirian santri.
Demografi santri di Minhajut Thullab juga mencerminkan keragaman masyarakat hasil transmigrasi di kawasan tersebut. “Selain anak-anak dari keluarga eks-transmigran, alhamdulillah ada juga dari keluarga Tolaki dan Bugis,” jelasnya.
Dulu, untuk menjemput santri baru, pengurus pondok harus berkeliling menggunakan bus. Kini, dengan hadirnya media sosial, jangkauan dakwah dan pendidikan mereka meluas ke berbagai daerah. “Sekarang sudah ada yang datang dari Manokwari, Halmahera, Bali, bahkan Jayapura — asli Papua,” ujar Ustaz Wildan. “Kalau dari Sultra sendiri, ada juga dari Kolaka, Kendari, dan Buton. Barokahnya ceramah,” tambahnya.
Menggerakkan Ekonomi
Dengan semangat melatih kemandirian santri, pesantren yang berlokasi di pusat Kecamatan Buke ini membangun sistem ekonomi terpadu dari hulu ke hilir. Mereka mengelola hasil pertanian sendiri mulai dari pengolahan padi dengan mesin combine, produksi beras, hingga distribusi hasilnya.
Tidak berhenti di situ, hasil beras yang diproduksi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pondok sekaligus dijual kembali kepada masyarakat sekitar. Dari sini, muncul berbagai unit usaha mandiri seperti minimarket pesantren, hingga air minum kemasan. Model kemandirian ini tidak hanya menumbuhkan jiwa entrepreneurship santri, tetapi juga memperkuat kedaulatan ekonomi pesantren dan menciptakan ekosistem belajar yang menyatukan nilai ilmu, amal, dan kemandirian.
Perkembangan pesantren ini bukan hanya memperkuat ekosistem pendidikan lokal, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi masyarakat sekitar.
Spirit inilah yang menjadikan pesantren di kawasan transmigrasi bukan sekadar simbol keagamaan, melainkan laboratorium kebangsaan, tempat nilai Islam, kebudayaan, dan keberagaman Indonesia menyatu dalam harmoni.
