*fragmen catatan perjalanan KKN Kolaboratif Persemakmuran.
***
AROMA SURGA DI PASAR BUKU WILIS
Aku menyukai Malang dengan sepasang mata elangnya; tajam menyiratkan tekad
namun genggamannya bagai musim dingin yang mendamaikan.
Aku pernah memperkenalkan diri sebagai perempuan gila paling antah
yang ditersesatkan takdir di kota Malang.
Diam-diam, menelusuri pasar buku Wilis
barangkali kutemukan kewarasan di stan buku beraroma surga yang berdesakan di pinggir jalan.
Rasanya begitu surga.
bukankah buku adalah rahasia surga yang sengaja Tuhan tinggalkan di bumi?
aku berupaya mencari lebih banyak kata
setidaknya bukan untukku-
tapi untuk seulas senyum di sudut bibirmu.
BUKIT BINTANG ADALAH NASIB
Selepas mengabsen sederet kegiatan pengabdian, kita sibuk menghibur diri
beramai-ramai, Bukit Bintang jadi tujuan
melipat jarak saat lampu-lampu kota mulai meninggi.
Aku sepakat, bukit Bintang adalah nasib
di sana, rencana-rencana disusun seperti takdir yang kita rancang sendiri.
Aku terlalu khawatir saat kita duduk melingkar
ada penyusup yang diam-diam membakar dinding pembatas pada masing-masing kita.
Tapi kukira itu benar; bahwa bukit Bintang adalah nasib
yang nakal
membuat kita kacau menentukan menu camilan.
Ketika dingin mulai beringas menyapa
senyum kita berpelukan tanpa permisi.
Kita larut dalam permainan.
Aku menghindari penghakiman,
dengan menunjuk secara asal wujud kebaikan Tuhan yang lain
demi rasa penasaran manusia; acapkali enggan puas dengan sekadar mengira-ngira.
tapi diam-diam, manik mataku menyepakati bentuk lain.
Bukit Bintang adalah nasib.
Aku menemukan apa yang orang lain tidak temukan-
di sana
ada pintu surga. Dari celah tatapnya, kuharap ia pelukan
-yang mendamaikan.
GIGIL KENANGAN SEPASANG LENGANS MERANGKUL INGATAN
Tepat di jantung kota Batu, aku berusaha melepas separuh diriku
meninggalkannya di sana bersama keraguan yang mencekik malam.
Taman kota memang selalu lebih mampu mengartikan pelukan pertemuan
dan aku menemukan tatap dengan lebih
banyak penafsiran.
Sementara pikiran kita sibuk menebak-nebak takdir dengan pongah, padahal nasib manusia
bukan milik manusia.
Orang lain sibuk berbicara, tapi senyum mereka mengatakan lebih banyak kata
anak-anak berlarian penuh cita, berkejaran dengan usia sebelum mereka benar-benar dewasa.
Tapi aku sibuk membisu,
semesta, boleh kuminta pahat kenangan ini sebagai sebuah paling yang saling?
tapi aku tetap diam, meski pikiranku terlalu banyak menyampaikan sesuatu
sisanya-
rapalan doa-doa.
Riuh taman kota Batu mulai sepi. Gigil kian meresapi kenangan bagai sepasang lengan merangkul ingatan.
DI ATAS MINIBUS
Minibus membawa lari seabrek kemungkinan dengan ugal-ugalan
pak sopir hanya tersenyum; enggan menyulut api di dada masing-masing penumpang yang tampak mulai mual.
Aku kehilangan arah dan lupa kiblat tujuan
menyadari bahwa membelakangi hadap untuk menghadap belakang.
yang kuingat adalah bahwa Dau akan menjadi tempatku tinggal
Sungguh atau singgah
Tak ada yang tau
Atau berhak sok tau.
Sepanjang jalan menuju Tegalweru, orang-orang sibuk menghiburku untuk lebih tabah
merasakan pening teramat menyiksa
Aku tau tak akan ada yang mampu kulakukan kecuali bus berhenti di tempat tujuan dan aku turun mengakhiri penderitaan
Sesak dan berhimpit jadi alasan
ingatan para penumpang tumpang tindih dan saling senggol.
Di minibus, masing-masing memangku budaya adat dengan erat. Saling toleh untuk melepar senyum; bersalaman.
Budaya-budaya berbeda itu bisa saling berpelukan. Tak perlu disembunyikan.
Jalan kian menanjak, sementara keinginan untuk sampai kian tidak berjarak.
Celoteh-celoteh mulai kehabisan amunisi, menit jadi terasa semakin lambat, saling lirik, sisanya penumpang memilih memejamkan mata
; menjenguk kampung halamannya dalam mimpi.
TEGALWERU DAN SENI MERACIK TAKDIR
Tegalweru adalah pecahan surga yang kutemukan di bawah langit Malang.
Ia dataran tinggi-
yang dari sana, aku dapat melihat hamparan harapan manusia memanjang dari ingatan sampai tangan-tangannya.
Mereka menanam jeruk
-sebagai komoditas utama di tanah surga.
Tangan mereka lentik dan cekatan
apapun bisa tumbuh subur.
Tapi jeruk adalah takdir yang mereka racik sendiri
kukira, Tuhan menyepakati
kemudian malaikat mencacakkan tugu desa
dengan jeruk di bagian teratas.
-bagian paling tinggi dari takdir manusia
adalah hasil upaya keras mereka sendiri.
***
ilustrasi foto: liputan6.com.