Senyum di Ujung Hayat Seekor Domba

66 views

Desis angin yang berembus ritmis meniup semak yang tumbuh di lembah rendah dan lereng perbukitan. Rerumputan pun ikut bergoyang tergesek angin. Beberapa ekor domba tengah asyik memakan rumput-rumput yang tumbuh menghijau di sekitaran semak belukar itu.

Tidak jauh darinya, penggembala domba tengah murung duduk di bawah sebuah pohon rindang. Pemuda itu sedang memandang keindahan pemandangan pegunungan di kejauhan. Dan domba-domba piaraannya mendapati gurat-gurat kesedihan di wajah tuannya itu.

Advertisements

“Kenapa Habil terus melamun di sana sedari tadi?” tanya seekor domba bertubuh kurus yang penasaran melihat tingkah tuannya yang tak seperti biasanya.

“Dia baru cekcok dengan Qabil, kakaknya,” jawab temannya, seekor domba yang berbadan gemuk.

“Memang kenapa?” domba pertama semakin penasaran.

“Kamu belum tahu? Makanya, jangan makan saja yang kau pikirkan. Tapi, baiklah kalau memang belum tahu, biar kau kuberitahu. Begini, Allah ta’ala mensyariatkan kepada Nabi Adam untuk me­ngawinkan anak-anaknya yang lelaki dengan anak-anak perempuannya untuk melestarikan keturunan. Kita tahu bahwa setiap kali Ibu Hawa mengandung, dilahirkan darinya dua orang anak yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Dan Nabi Adam hendak mengawinkan anak-anak perempuannya itu dengan anak laki-laki yang lahir bukan dari kembarannya.”

“Lalu apa yang diributkan?” semakin penasaran saja domba satu itu. Alih-alih menjawab pertanyaan itu, domba gemuk justru meneruskan makan rumput yang memenuhi rongga mulutnya.

“Kau dengar suaraku?” tanya domba itu lagi, jengkel pertanyaannya tidak digubris.

“Bentar, masih makan,” tukas domba gemuk selepas menelan rerumputan yang baru lahap dikunyahnya. “Nabi Adam menjodohkan Qabil dengan Labuudaa, sedangkan Habil dijodohkan dengan Iqlima. Akan tetapi Qabil menolak perjodohan itu karena ia merasa lebih berhak mendapatkan Iqlima, saudara kembarnya yang cantik itu. Tahu kenapa?” lontar domba gemuk sambil menyeringai. Domba kurus menyeringai pula sambil menggelengkan kepala, tak tahu apa jawabannya.

“Dia adalah saudara perempuanku yang dilahirkan seperut denganku, lagi pula dia lebih cantik daripada saudara perempuanmu, maka aku lebih berhak untuk mengawininya,” domba gemuk menirukan ucapan Qabil pada Habil tempo hari.

Domba kurus menyimak dengan serius berita tentang tuannya ini sampai ia biarkan rumput di mulutnya berjatuhan.

“Bahkan Qabil menuduh ayahnya telah berbuat dusta. Allah tidak pernah memerintahkan pernikahan ini. Ini hanyalah kehendakmu sendiri, begitu protes Qabil pada ayahnya,” domba gemuk meneruskan cerita.

“Aku sedih mendengar Habil dihalang-halangi untuk menikahi Iqlima, padahal dia pantas mendapatkannya. Kenapa kau tak ikut sedih melihat tuanmu yang baik hati itu sedih akibat perselisihan ini?” tanya domba kurus.

“Di satu sisi aku sedih juga. Tapi di sisi lain aku merasa senang. Habil memilihku untuk menjadi kurban. Kebahagiaan apa yang melebihi kebahagiaan karena dipilih oleh seorang yang bertakwa?” domba gemuk melontar tanya.

“Kurban apa maksudmu?” tanya domba kurus.

“Karena Qabil menentang perintah ayahnya, akhirnya dibuatlah sayembara. Masing-masing dari Qabil dan Habil diminta berkurban. Dan tahukah kamu bahwa kurban yang diterima akan menjadi pemenang serta berhak menikahi Iqlima?”

“Mana kutahu? Tapi kenapa Habil bersedih? Apakah dia takut kehilangan Iqlima?” sahut domba kurus.

“Mungkin saja, siapa yang tak takut kehilangan orang yang dicintai? Tapi mungkin juga sedih karena berselisih itu. Kenikmatan apa yang melebihi kenikmatan sebuah persaudaraan? Ah, tapi siapa pun yang tidak bisa mendapatkan Iqlima memang pantas bersedih,” sahut domba gemuk yang memang dekat dengan Habil.

“Apakah kau juga ingin mendapatkan Iqlima? Jangan bodoh, kau hanyalah seekor domba!!”

Mereka pun tergelak di tengah kesiut angin sore lereng perbukitan yang sejuk.

Waktu pun terus berjalan. Waktu untuk mempersembahkan kurban pun tiba juga akhirnya. Qabil dan Habil berjalan menaiki bukit dengan membawa kurban masing-masing. Habil menuntun domba paling gemuk yang dimilikinya. Domba gemuk yang dielus-elus oleh Habil merasakan ketentraman luar biasa dalam jiwanya. Alangkah indahnya berjumpa dengan Dzat yang dikasihi, gumamnya dalam hati.

Sedangkan, di pihak lain Qabil dengan langkah yang jumawa berjalan menenteng seikat gandum paling buruk yang dimilikinya. Ketika berjalan matanya masih sempat meneliti gandum bawaannya. Dan tatkala ia menjumpai sebulir gandum yang besar di dalamnya, segera dia rontokkan lalu di­makannya gandum itu. Domba gemuk yang menyaksikan hal itu merasa jengah lantas mendengus kesal. Ingin suatu saat jika dia masih bisa berjumpa temannya akan ia ceritakan ulah Qabil yang menurutnya memantik emosi itu.

Ketika telah sampai di puncak bukit, detik-detik yang berlalu berubah menjadi begitu mendebarkan. Entah kurban milik siapa yang akan diterima nanti. Hal itu sempat membuat domba gemuk merasa cemas. Namun sekali lagi keteduhan Habil membuatnya merasa tenang. Domba gemuk memasrahkan semuanya pada Allah. Dan di tempatnya berdiri, Qabil begitu percaya diri akan dapat memenangkan kurban serta memperistri Iqlima yang kecantikannya diam-diam telah menyihir perasaannya sejak lama.

Nabi Adam kemudian berdoa kepada Allah untuk menentukan kurban mana yang diterima. Dan beberapa saat kemudian yang dinanti pun tiba, sekejap kemudian turun kilatan api dari langit menyambar domba gemuk yang merupakan kurban milik Habil. Sedang­kan, kurban Qabil dibiarkan begitu saja tidak dimakan api. Walaupun api itu tidak mengenainya, tapi Qabil merasakan bara api yang begitu panas membakar hatinya. Habil telah nyata-nyata memencundanginya.

Melihat kurbannya tak tersentuh api, Qabil marah besar. Dengan langkah sempoyongan ia mendekati Habil sembari berbisik geram, “Apa kau akan berjalan dengan bangga di bumi ini dan orang-orang akan bilang kau lebih baik dariku? Aku benar-benar akan membunuhmu agar kamu jangan mengawini saudara perempuanku!”

Habil pun menyahut, “Apakah dosaku, Qabil? Sesungguhnya Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa.”

Bertambah beranglah Qabil mendengar jawaban Habil itu. Ia pun kemudian mengadu pada ayahnya. Namun justru kemarahanlah yang diberikan oleh Nabi Adam karena dia mengetahui bahwa Qabil adalah orang yang dimurkai Allah.

“Celakalah kamu, hai Qabil! Kurbanmu tidak diterima,” sergah Nabi Adam.

Qabil kemudian berlalu membawa rasa sakit di hatinya. “Engkau mencintainya dan mendoakan kurbannya. Karena itu kurban­nya diterima, sedangkan kurbanku tidak diterima.” Qabil berkata kepada dirinya sendiri. “Malam ini pasti aku akan membunuhnya.” Hatinya yang dipenuhi bara api kemarahan membuncahkan serapah.

Suatu waktu Nabi Adam berencana untuk pergi beribadah ke Makkah. Dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh Qabil untuk memuasi kedengkiannya. Dendamnya harus segera dilunasi, begitu pikir Qabil ketika mendengar ayahnya akan bepergian. Dan benar, ketika saat itu telah tiba Qabil datang ke tempat Habil istirahat. Saat itu Habil memang tengah merebahkan tubuhnya. Qabil mencari cara untuk menghabisi nyawa Habil. Muncullah ide membunuhnya dengan cara menggigit leher Habil. Qabil lantas membungkukkan lehernya untuk menggigit Habil.

Di saat yang bersamaan iblis mengambil seekor serangga, lalu ia meletakkan binatang itu di atas batu, kemudian iblis mengambil sebuah batu lagi untuk menghantam kepala binatang itu hingga mati. Ternyata Qabil melihat apa yang dilakukan oleh iblis itu.

“Apakah kamu hendak membunuhnya?” bisik iblis pada Qabil.

“Ya,” Sahut Qabil cepat.

“Ambillah batu ini dan timpakan ke atas kepalanya.”

Qabil menyeringai, menyetujui ide cemerlang iblis itu. Lupa dia bahwa makhluk ini dulu pernah memperdaya orang tuanya hingga diturunkan ke bumi. Tak perlu pikir panjang, Qabil kemudian mengambil batu yang baru digunakan oleh iblis itu dan menimpakannya tepat di atas kepala Habil. Tak pelak, kepala Habil pun pecah. Darah merah memburai dan seketika itu juga Habil meregang nyawa, anak Nabi Adam yang saleh itu telah meninggal dunia. Kelak, ulah Qabil ini akan menjadi catatan gelap sejarah umat manusia, sebuah kisah pilu pembunuhan pertama. Dan sebagai seorang pembunuh pertama di muka bumi, Qabil akan menerima dosa setiap darah yang mengalir atas nama pembunuhan setelahnya.

Melihat adiknya telah tak lagi bernapas, Qabil ternyata sempat bingung. Lalu, dia melihat dua ekor burung gagak, yang ternyata seekor di antaranya telah mati. Seekor burung gagak itu menggali tanah dengan paruh lancipnya. Setelah galian itu cukup dalam, temannya yang telah mati itu ia kuburkan di situ. Qabil menyalahkan dirinya yang tak pernah berpikiran secemerlang burung itu.

“Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” gumam Qabil. Habil pun kemudian dikubur dalam tanah seperti dicontohkan oleh burung gagak itu.

Sementara itu domba gemuk diangkat ke surga. Bertahun-tahun lamanya ia tinggal di taman-taman yang keindahannya tak dapat terlukis oleh kata-kata. Suatu saat dia mendapat perintah untuk turun kembali ke bumi. Kabar itu ditanggapinya dengan rasa haru yang sangat, ia akan melihat seperti apa akhir cerita tuannya dulu itu.

Setibanya di bumi ternyata bukan Habil yang dia temui. Seorang bapak yang dari wajahnya memancarkan kesalehan luar biasa tengah berhadapan dengan putra tercintanya untuk dijadikan kurban. Ketika pedang itu hampir mengenai leher si bocah, tiba-tiba saja domba itu datang menggantikannya. Domba gemuk itu merasakan kenikmatan yang luar biasa begitu pedang di tangan kekasih Allah yang tiada lain adalah Nabi Ibrahim itu mengiris lehernya. Ia bertakbir sembari mengulum senyum bahagia dapat menggantikan kedudukan putra Ibrahim yang mulia itu.

Mentaraman, 22-7-2021/12-12-1442.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan