Aku hanya diam memandangi wajah ibu. Sesekali memijat lengannya yang mulai ringkih. Segelas air di sampingnya tidak diminum sempurna. Semilir angin yang masuk lewat celah jendela menjadi saksi keterpurukanku. Dua jam berlalu, mata ibu masih terpejam. Bukan karena tidur pulas atau malas membuka mata. Mungkin ibu terlalu nyaman menyaksikanku cemas di sampingnya, sehingga sampai saat ini belum siuman dari pingsannya.
Tidakkah ibu tahu akan rasa takut kehilangan yang melandaku saat ini? Setelah aku kehilangan bapak, aku harap itu tidak terjadi pada ibu. Aku rindu masa-masa kebersamaan bersama ibu. Dipeluk ibu, rambutku dikepang dua dan dibacakan dongeng olehnya. Betapa senangnya mengingat semua itu. Tapi saat ini? Aku mau mengadu sama siapa? Ibu nyaris berubah. Aku sering tidur sendirian, mempersiapkan alat-alat sekolah sendirian. Untuk anak seusiaku yang masih duduk di bangku SD, aku rasa adalah hal yang wajar meminta perhatian ibu. Seperti temanku Rina yang sering diantar-jemput waktu sekolah, Fendi yang dibelikan mainan robot setiap bulan, dan Siska dengan boneka-bonekanya yang lucu.
***
“Selama ini ibu salah karena terlalu memanjakanmu,” ucap ibu waktu itu, ketika aku menuntut perhatian darinya. Suara ibu yang serak dan disertai batuk-batuk, nyaris tak bisa aku jangkau.
“Faza tak minta lebih, Bu. Faza cuma ingin tidur bersama Ibu. Faza takut tidur sendirian di kamar sebelah.”
“Kamu sudah besar, Faza. Berhentilah bersikap seperti anak kecil.” sedikit pun tak membuat ibu terenyuh.
“Faza akhir-akhir ini juga banyak yang tidak mengerti pelajaran di sekolah. Biasanya kalau Faza tidak mengerti, ibu berusaha menjelaskan.” Aku lagi-lagi mencari alasan agar mendapat perhatian ibu. Mungkin dengan cara ini, ibu akan memeberikan perhatiannya.