Seri “Wali Pitu” di Bali (3): Pangeran Mas Sepuh

1,499 views

Inilah yang tercatat dalam sejarah sebagai wali pertama dari tujuh ulama penyebar agama Islam di Pulau Bali: Pangeran Mas Sepuh.

Ia adalah seorang pangeran. Ayahnya adalah Raja Mengwi I, kerajaan terbesar di Bali kala itu. Sedangkan, ibunya adalah putri dari Raja Blambangan (kini Banyuwangi, Jawa Timur). Tentu saja, sebagai raja kerajaan di Bali, ayah Pangeran Mas Sepuh adalah penganut Hindu. Sementara itu, sang ibu telah memeluk Islam. Lahir dengan nama Pangeran Amangkuningrat, Pangeran Mas Sepuh dibesarkan oleh ibunya yang muslim.

Advertisements

Dalam beberapa babad disebutkan, 400 tahun lalu, atau sekitar akhir abad ke-16, Kerajaan Blambangan menjadi taklukan Kerajaan Singaraja (Bali). Setelah ditaklukkan, Kerajaan Blambangan dihadiahkan kepada Raja Mengwi. Saat mengunjungi Kerajaan Blambangan, Raja Mengwi menikahi putri Kerajaan Blambangan yang sudah memeluk Islam. Dari pernikahan inilah lahir Pangeran Amangkuningrat atau Pangeran Mas Sepuh.

Namun, saat Pangeran Amangkuningrat masih dalam kandungan, Raja Mengwi sudah kembali ke Kerajaan Mengwi. Maka, pengasuhan Pangeran Amangkuningrat sepenuhnya dilakukan oleh ibunya. Tak banyak catatan bagaimana Pangeran Mas Sepuh dibesarkan dan memperoleh pendidikan. Yang pasti, pada usia 25 tahun, ia telah menjadi pemuda muslim yang sangat berilmu, dan sakti.

Saat itulah, kepada ibunya, Pangeran Mas Sepuh menanyakan perihal ayah kandungnya. Setelah memperoleh penjelasan dari sang ibu bahwa ayah kandungnya adalah seorang raja di Kerajawaan Mengwi, Pangeran Mas Sepuh pun melakukan perjalanan ke Bali. Konon, dalam perjalanan ke Bali ini, Pangeran Mas Sepuh diiringi oleh 40-an santri dan kiai.

Dari cerita-cerita rakyat dikisahkan, Pangeran Mas Sepuh dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan sakti. Salah satu kesaktiannya adalah bisa berjalan di atas air. Bahkan, bersama para pengikutnya, diceritakan bahwa Pangeran Mas Sepuh sering salat berjamaah di atas air. Karena itu, ketika menempuh perjalanan ke Bali, menuju Kerajaan Mengwi, Pangeran Mas Sepuh bersama para pengikutnya melakukannya dengan berjalan di atas air.

Namun, saat sampai di Kerajaan Mengwi, Pangeran Mas Sepuh tak bisa bertemu dengan ayah kandungnya. Raja Mengwi I ternyata telah mangkat, digantikan oleh keturunannya, yang tak lain adalah saudara tiri Pangeran Mas Sepuh. Selain kecewa karena tak bertemu dengan ayah kandungnya, Pangeran Mas Sepuh juga tidak memperoleh penerimaan yang semestinya di lingkungan Kerajaan Mengwi.

Babad dan cerita-cerita rakyat hanya menyebut terjadi kesalahpahaman atau perselisihan di antara Pangeran Mas Sepuh dengan saudara-saudara tirinya di lingkungan Kerajawaan Mengwi. Tak pernah disebutkan perihal apa yang mereka salah pahami atau perselisihkan. Catatan yang ada hanya samar-samar menyebut: ada rasa iri atau cemburu dari saudara-saudara tirinya akan kesaktian Pangeran Mas Sepuh yang sudah kondang.

Sesederhana itu? Entahlah. Yang pasti, keberadaan Pangeran Mas Sepuh tidak diterima di lingkungan istana Kerajaan Mengwi. Ia harus angkat kaki. Bisa jadi benar karena iri atau cemburu. Atau, lebih dari itu, bisa jadi mereka takut akan kalah pengaruh dan khawatir Pangeran Mas Sepuh hendak merebut tampuk kekuasaan. Juga, bisa jadi mereka khawatir dengan paham dan ajaran yang dibawa Pangeran Mas Sepuh beserta para pengikutnya. Karena, saat itu Pangeran Mas Sepuh juga sudah dikenal sebagai pendakwah dengan gelar Syekh Ahmad Hamdun Khairus Saleh.

Yang pasti, tak lama setelah kedatangannya, Pangeran Mas Sepuh diminta meninggalkan Kerajaan Mengwi. Tak ingin menimbulkan perselisihan berkepanjangan, Pangeran Mas Sepuh mengalah. Ia pergi meninggalkan Kerajaan Mengwi, hendak pulang ke Blambangan. Namun, saat tiba di Pantai Seseh, di Desa Munggu, beristirahat sambil menunggu waktu yang tepat untuk menyeberang, rombongan Pangeran Mas Sepuh memperoleh serangan dari gerombolan orang tak dikenal. Gerombolan penyerang ini membawa senjata lengkap. Maka terjadilah perkelahian antara rombongan Pangeran Mas Sepuh dengan orang-orang tak dikenal itu.

Saat terjadi pertempuran sengit itulah Pangeran Mas Sepuh mengeluarkan sebilah keris pemberian dari ibunya. Saat itu keris itu dikeluarkan dari sarungnya dan diacungkan ke langit, pasukan penyerang itu langsung terdiam. Lumpuh. Namun, Pangeran Mas Sepuh memberikan maaf kepada musuh yang sudah tidak berdaya itu, dan meminta mereka untuk pergi.

Setelah peristiwa penyerangan itu, Pangeran Mas Sepuh bersama para pengikutnya masih berdiam di Pantai Seseh untuk beberapa saat. Namun, entah oleh sebab apa, tak lama kemudian Pangeran Mas Sepuh wafat dan tidak pernah kembali ke Blambangan. Sebelum meninggal, Pangeran Mas Sepuh sempat berpesan kepada pengikutnya agar jika meninggal dibuatkan makam di Pantai Seseh.

Makam inilah yang kemudian menjadi jejak petilasan salah watu dari Wali Pitu atau tujuh ulama penyebar Islam di Bali. Bentuknya justru mirip pura atau tempat peribadatan pemeluk Hindu Bali dan memperoleh sebutan Makam Keramat Pantai Seseh. Lokasinya kini berada di Banjar Seseh, Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Kini, Makam Keramat Pantai Seseh tidak hanya menjadi tempat berziarah umat Islam, tapi juga masyarakat Hindu dari berbagai daerah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan