SERUNAI SANTRI DALAM ENAM BAGIAN*

*ditulis sebagai perenungan dalam memperingati Hari Santri Nasional. Ini bukan sekadar penghormatan bagi mereka yang berpeci dan bersarung, tetapi bagi setiap jiwa yang belajar memaknai sunyi—di mana ilmu, cinta, dan iman tak pernah selesai dipelajari.

I. SURAT KEPADA TUHAN

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Aku mencintai-Mu seperti tanah mencintai hujan yang menundanya.

Aku menunggu-Mu di setiap jeda azan yang tak selesai.

Tubuhku adalah ayat yang kehilangan makna
sampai Kau datang dan membacakannya dengan cahaya.

Aku bukan nabi
hanya seseorang yang mempelajari rindu

dari baris-baris Alif Lam Mim
yang tak pernah tuntas kuartikan.

Jika mencintai-Mu adalah belajar
maka biarkan aku bodoh selamanya
dalam madrasah-Mu yang tak bernama.

II. Di ANTARA DUA SUJUD

Aku jatuh cinta kepada waktu yang berhenti di keningku
saat dahiku bersentuhan dengan tanah—dan bumi, untuk sesaat, menjadi kekasihku.

Setiap sujud adalah pertemuan rahasia antara tubuh dan makna
antara fana dan yang tak bisa kulihat.

Engkau menyentuhku lewat udara
dan aku menggigil bukan karena dingin
tapi karena Kau terlalu dekat untuk kusebut “Engkau”.

III. BELAJAR MELUPAKAN (?)

Aku ingin berhenti menghafal ayat-ayat tentang sabar
karena dunia terlalu pandai
mengajarkan luka dengan caranya sendiri.

Tapi pagi datang lagi
membawa bau tanah basah
dan suara sandal menuju masjid.

Ada sesuatu yang sederhana tapi keras kepala di dadaku—
mungkin iman,
mungkin hanya kebiasaan tak menyerah.

Di pesantren ini kami belajar bahwa percaya kadang lebih sulit dari berdoa.

IV. KITAB DARI DALAM DIRI

Aku membuka kitab
tapi menemukan wajahku di antara ayat-ayatnya.

Huruf-huruf seperti cermin kecil
menggandakan setiap kesalahan yang kusembunyikan.

Guru bilang, “membaca itu juga mengaku.”
Dan sejak itu aku tahu
mungkin belajar bukan soal mengerti
tapi berani memaafkan diri sendiri.

Aku menutup kitab
tapi suara-Nya tak berhenti di kepala—
menyamar dalam langkah
dalam diam yang menua di dada.

V. CAHAYA YANG LAHIR DARI LUKA

Seseorang berdiri di antara dua senja
membawa sepotong doa yang ia tempa dari kekalahan.

Ia tidak bertanya pada Tuhan
hanya menunggu gema di dalam dirinya reda.

Di jalan panjang menuju terang
ia tahu: tak semua cahaya datang dari surga—beberapa tumbuh dari luka
dari keheningan yang ia jaga agar tak menjadi benci.

Dan negeri ini
entah sadar atau tidak
masih hidup dari napas orang-orang semacam itu:
yang beriman tanpa perlu disorot
yang setia meski tak disebut.

VI. SERIBU PAGI TANPA NAMA

Seseorang duduk di tepi huruf
membaca angin yang melintas dari masa ke masa.

Di ujung jarinya, tinta berdoa pelan
mencari makna dari setiap kesalahan ejaan.
Ia tak sedang menulis hanya menyalin sunyi yang menua di halaman tubuhnya.
Kadang sebaris doa jatuh seperti debu—diam, tapi mengendap dalam sejarah.

Langit tak pernah hafal nama siapa pun
yang menunduk terlalu lama.

Ia hanya mencatat waktu
dan tubuh-tubuh yang rela terbakar untuk mengerti arti cahaya.

Di luar, negeri terus bicara tentang kemerdekaan sementara seseorang di dalam dirinya
masih menghafal cara menjadi manusia.

Dan setiap fajar datang
seperti ayat yang belum selesai—
mengulang, menegur, menyala di tempat yang tak lagi kita sebut suci.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan