Sesat Pikir Ilmu Agama

113 views

Saya takjub ketika membaca berita tentang MA Gymnastiar Putra, seorang santri Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto, Jawa Timur diterima di 11 perguruan tinggi bergengsi di luar negeri (duniasantri.co, 3 Juli 2022). Ketakjuban saya bukan pada kelolosannya masuk tes di 11 kampus di sejumlah negara itu, melainkan pada pilihannya terhadap disiplin ilmu yang akan ditekuninya.

Dari 11 perguruan tinggi yang menerimanya itu, Gymnastiar Putra akhirnya menjatuhkan pilihan pada Colorado School of Mines, Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam itu, Gymnastiar Putra akan belajar dan menekuni ilmu pertambangan. Dengan begitu, kelak ia akan bisa berkontribusi untuk kemajuan Indonesia pada sektor pertambangan.

Advertisements

Mungkin, teman-teman Gymnastiar Putra dari pesantren yang sama atau santri-santri lain dari pesantren-pesantren lain, banyak yang memilih belajar ke Mekkah, Madinah, Mesir, atau negara-negara Timur Tengah untuk mendalami ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu faraid, ilmu tasawuf, dan lain-lainnya yang diklaim sebagai “ilmu agama”. Atau menjadi hafiz Quran dan penghafal hadis.

Pilihan Gymnastiar Putra itu menerbitkan ketakjuban di tengah mengerasnya pemisahan ilmu secara dikotomis; di seberang sini ada ilmu agama, di seberang yang berlawanan ada ilmu nonagama atau ilmu umum. Dan, secara salah kaprah, dikotomi itu disimplifikasi menjadi seperti ini: ilmu agama bersumber dan untuk orang-orang beriman; ilmu umum bersumber dan untuk orang-orang kafir. Ilmu agama untuk mengejar akhirat. Ilmu umum untuk mengejar dunia. Dan, “turunan” dari dikotomi ini kian mengeras di tingkat akar rumput. Belajar ilmu agama adalah jaminan masuk surga. Yang belajar ilmu umum wallahualam

Salah kaprah ini juga telah begitu dalam merasuki sistem pendidikan kita yang begitu dikotomis. Ada lembaga pendidikan agama, ada lembaga pendidikan umum. Dan bukan hanya pada sistem pendidikannya, salah kaprah ini juga telah begitu dalam merasuki alam bawah sadar masyarakat muslim kita. Anak-anak kita sejak dini dipaksa mendayung di antara dua karang, bersekolah di pendidikan agama sekaligus di pendidikan umum. Atau bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan agama (termasuk pesantren) yang “ditempeli” dengan ilmu-ilmu umum —tapi keduanya tetap terpisah secara dikotomis.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan