Tahun 2015 aku bertugas menjadi pengajar di sebuah sekolah baru di pulau terpencil wilayah Provinsi Aceh. Kebudayaan serta bahasa yang cukup berbeda bagiku yang seorang Jawa kerap membuatku mendapat masalah. Tidak sekali dua kali aku dibuat bingung lantaran pemakaian sebuah kata bahasa Indonesia yang ternyata memiliki makna cukup berbeda.
Suatu waktu aku bercakap-cakap dengan seorang anak kecil tetangga kontrakan. Aku kebingungan memahami ceritanya, “Semalam saat sekolah aku dimarahi ibu guru di rumah sekolah,” kata anak itu.
“Makanya, sekolah jangan malam-malam, anak cakep,” sahutku sambil menimpuk punggungnya.
Dia bingung menanggapi maksud ucapanku. Kukira dia dimarahi karena pergi ke sekolah malam hari. Ternyata, maksud kata semalam dari anak itu adalah kemarin. Dan sebab kemarahan gurunya adalah perkara lain. Orang-orang yang kukenal dari wilayah Sumatera Utara dan Aceh memakai kata semalam sebagai “kemarin”. Terang saja ini membuatku bingung.
Lain waktu temanku dari Medan sukses membuatku bingung.
“Ikut aku pigi ke pajak cari ikan,” dia memintaku dengan nada yang lebih terdengar sebagai sebuah perintah.
Walaupun suaranya terdengar jelas, namun aku perlu mengernyitkan dahi untuk memahami ucapannya yang sadis itu.
“Wah, mau mancing ya Bang?” tanyaku, antara bergurau dan bingung.
Temanku itu bingung pula memahami ucapanku, tapi kemudian berlalu tak menanggapinya. Kukira dia bercanda menggunakan kata pajak yang kudengar sebagai “bajak” untuk mengajakku memancing cari ikan. Belakangan baru kuketahui ternyata dia beli ikan di pasar. Pajak maksudnya adalah pasar.
Dan di awal-awal aku berada di pulau itu aku sempat apes. Kala itu aku baru sehari tinggal di rumah kontrakan seorang warga. Perutku sedang lapar-laparnya. Detik demi detik yang berlalu seolah lama sekali. Hingga akhirnya ibu asuhku datang menghampiri seraya melontar tanya.
“Pak Mus siap mangan?” tanyanya. Wah, ngerti bahasa Jawa juga rupanya orang Aceh ini, ucapku dalam hati.
“Siap!” tegas aku menyahut.
“Apa kawan nasinya?” tanya ibu itu lagi.
“Iya, saya kawannya Nasiin, guru SMK baru,” jawabku akhirnya setelah lama otakku berputar-putar memilih jawaban yang benar atas pertanyaannya.
Dan malang benar nasibku hari itu, lebih malang dari kota Malang tempat di mana aku tinggal. Hingga berjam-jam kutunggu makan malamnya tak kunjung datang. Malah aku ditinggal mereka tidur dalam keadaan perut melilit-lilit kelaparan.
Di pulau Simeulue itu mangan berarti makan, seperti bahasa Jawa. Semuanya kuketahui kemudian. Kawan-kawanku mengajar di rumah sekolah pun terbahak-bahak mendengar ceritaku. Ternyata siap di sini berarti sudah selesai. Pantas saja aku dibiarkan kelaparan karena aku dikiranya sudah makan.
Dan Nasiin temanku mengajar tertawa paling kencang. Pertanyaan tempo hari yang kukira ibu asuhku bertanya apakah aku kawannya Pak Nasiin; ternyata keliru. Memang aku dengar dia bilang kawan nasi. Tapi kuterjemahkan sebagai kawannya Pak Nasiin yang merupakan guru kesenian itu. Padahal kawan nasi di bahasa Simeulue artinya lauk pauk. Kawan sesekolah yang mendengar ceritaku tertawa tak sudah-sudah.