Seperti pada umumnya di pondok pesantren, kewajiban utama seorang santri adalah mengaji. Wajib, sangat diwajibkan, dan tak bisa ditinggalkan kecuali dengan alasan khusus. Ngaji, terutama pengajian kitab-kitab kuning, telah menjadi ruh dan ciri khas tersendiri bagi setiap pondok pesantren. Dan menjadi kewajiban tiap santri untuk mengikutinya, baik ngaji dengan
metode sorogan atau bandongan, misalnya.
Itulah salah satu nilai plus tersendiri bagi pesantren dan santri. Bagi santri, tinggal di pesantren dan menjadi santri adalah anugerah. Anugerah karena, dengan tinggal di pondok, seorang santri bisa belajar menjadi makhluk sosial. Hidup dan tinggal bersama-sama dengan banyak orang yang berbeda karakter akan mengajarkan santri saling memahami satu sama lain.
Tapi, apa pun kondisinya, santri dilarang meninggalkan kewajiban untuk mengaji, karena itulah tujuan utamanya mondok. Namun, ketika saya kuliah di salah satu Universitas Islam di Jakarta dan tinggal di salah satu pondok pesantren, saya menemukan beberapa tipe santri yang “unik”, mencoba menyiasati untuk bolos mengikuti kegiatan pesantren dengan mencari kegiatan lain yang serupa. Misalnya, bolos mengaji tapi untuk mengikuti kegiataan lain yang juga bermanfaat.
Salah satu contoh, bolos mengaji agar bisa mengikuti acara Kenduri Cinta yang dimotori Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun. Biasanya, kegiatan ini selalu dilaksanakan dua minggu sekali pada malam Sabtu di Taman Ismail Marjuki (TIM) Jakarta Pusat.
Jamaah Maiyah-nya datang dari berbagai wilayah, golongan, profesi, dan semua orang yang rindu dengan wejangan soal kemanusiaan. Salah satunya adalah para santri, baik yang sudah tidak di pondok ataupun masih berstatus sebagai santri yang aktif di pesantren. Biasanya, ketika ada jadwal Kenduri Cinta, selalu saja ada santri yang rela untuk membagi waktunya, atau mengorbankan kegiatan di pesantren untuk mengikuti kegiatan ini.
Ada contoh lain. Ada juga yang bolos mengikuti pengajian di pesantren tempat dia tinggal untuk mengikuti pengajian di tempat lain. Bisa dikatakan bahwa santri seperti ini punya semangat yang tinggi dalam belajar. Dengan melihat peluang yang ada, tipe santri seperti ini bisa memanfaatkannya.
Biasanya, alasan yang lazim digunakan adalah mencari pengalaman baru, atau karena diajak oleh santri yang cukup berpengaruh di pesantren tempat ia tinggal. Dengan memanfaatkan pengaruhnya, mereka bisa mensiasati supaya bisa hadir di pengajian lain. Tipe santri seperti ini bisa ditemukan di beberapa pesantren yang menganut sistem salafi-modern, atau pesantren yang didominasi oleh santri yang berstatus sebagai mahasiswa.
Ada juga santri bolos mengaji agar bisa mengikuti kegiatan di kampus. Biasanya, ini dilakukan oleh santri yang juga berstatus sebagai mahasiswa. Tidak sedikit santri yang memilih untuk menjadi aktivis di luar pesantren. Bagi santri yang aktivis, tentu saja banyak hal yang harus dikorbankan, salah satunya kegiatan di pesantren. Sebab, tak jarang kegiatan-kegiatan organisasi dilaksanakan saat malam hari atau akhir pekan.
Tipe santri seperti ini cenderung punya pemikiran yang visioner dan ambisius. Selain itu, dia belajar untuk memanajemen waktu supaya terbiasa dengan kegiataan ekstra. Santri seperti ini cukup dibutuhkan untuk mengembangan ke organisasian di dalam pesantren. Dengan modal pengalamannya di luar, ia bisa membantu dan memberikan sudut pandang segar untuk kemajuan pesantren.
Terlepas dari perdebatan boleh atau tidaknya hal seperti itu dilakukan, tipe-tipe santri seperti di atas biasanya lebih dominan ketika mereka berstatus mahasiswa. Punya pemikiran sendiri yang unik, tingkah yang nyentrik, dan tentu saja menjadi modal awal untuk membuat terobosan di pondok pesantren.
Meskipun pondok pesantren terkadang masih dipandang sebelah mata, kuno, dan tradisional. Pada faktanya, dari dulu hingga sekarang, hanya pendidikan model pondok pesantren yang terus bertahan dan tidak tergerus oleh zaman.