Alegori Sumenep sebagai kota wisata dan tempat para pelancong dari berbagai negara singgah, perlahan mengaburkan sisi lain dari kota ini. Bahwa ada relasi bisnis yang eksploitatif dan cenderung merusak terhadap alam.
Salah satu eksotisme wisatanya adalah Pulau Oksigen yang diwartakan berada pada urutan kedua setelah Jordania dalam kadar oksigen tertinggi di dunia. Pulau tersebut adalah nama lain dari Gili Yang, sebuah pulau yang terletak di wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Selain itu, terdapat Pantai Lombang dengan ciri khas pohon cemara udang yang disinyalir hanya beberapa titik di dunia yang ditumbuhi pohon tersebut.
Eksotisme wisata ini justru menarik hidung para investor sekaligus membentengi pengrusakan alam yang perlahan terjadi. Dan kehadiran buku berjudul Rebutan Lahan di Pesisir Pantai Sumenep ini menyibak tabir kuasa dengan berpedoman pada realitas empirik yang terjadi di akar rumput. Dengan mendedah sisi lain dari Sumenep, setidaknya kita tidak hanya mengetahui bahwa ada keindahan wisata, namun ada juga pengrusakan alam yang terjadi sebagai konsekuensi logis dari ketamakan kapitalisme.
Islam dan Relasi Kapital
Sebagai agama mayoritas, Islam memainkan peran penting dalam usaha-usaha kapitalistik secara khusus di Sumenep. Posisi agama yang demikian penting dalam masyarakat Madura dijadikan atau dimanfaatkan pemodal untuk kepentingan penguasaan lahan (hal. 35). Para elite kapital tersebut seakan telah mengkaji teks-teks sejarah dan secara bersamaan menggunakan agama sebagai umpan untuk menjarah tanah rakyat. Relasi ini timbul bukan hanya diinisiasi oleh satu pihak (dalam hal ini pihak pemodal), namun ada relasi bisnis baik antara pemodal, pemerintah, dan tokoh-tokoh agama.
Tokoh agama dengan segenap sumber daya dan pengaruh yang dimilikinya diambil untuk menghubungkan kepentingan penguasaan lahan oleh pemodal dengan masyarakat pemilik tanah (hal. 36). Narasi-narasi agama yang dijadikan senjata ampuh biasanya adalah rukun Islam yang kelima, yaitu naik haji. Sehingga banyak yang tergugah untuk menjual tanah mereka sebagai biaya berangkat ke Mekkah. Tersebab, predikat haji tersebut memiliki eksistensi lebih di tengah masyarakat.