Peradaban dimulai dengan adanya pemikiran animisme, kemudian berkembang menjadi agama (E.B. Tylor: 1832-1917).
Booming spirit doll rupanya tengah santer di negeri ini. Bukan tanpa sebab, semenjak disuarakan oleh salah seorang selebriti yang mengumumkan perihal anak adopsinya di media sosial, spirit doll kian hangat diperbincangkan di jagat maya. Diikuti selebriti lain yang turut membuat pengakuan terbuka ihwal spirit doll yang dimiliki. Lantas diaminkan oleh seorang indigo yang mengaku menjadi pengasuh ratusan boneka spirit doll.
Dirawat sebagaimana bayi sungguhan, spirit doll dipercaya memiliki kekuatan magis yang mampu memberikan ketenangan, kenyamanan, dan keberuntungan pada pengasuhnya.
Mungkin sebagian dari kita akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin boneka yang biasanya menjadi mainan anak-anak lalu diperlakukan seolah bayi sungguhan. Pasti yang terbesit pertama kali dalam benak akan mempertanyakan kondisi kejiwaan sang pengadopsi. Sehatkah?
Merespons hal tersebut, terdapat dua aspek penting yang turut memprakarsai fenomena yang terjadi.
Peradaban Manusia
Transformasi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri, masyarakat komunal menjadi masyarakat individual, dan masyarakat yang semula sangat mengandalkan tubuh untuk melakukan pekerjaan lalu mulai beralih dengan bergantung kepada teknologi, merupakan ciri dari majunya peradaban umat manusia.
Menukil pernyataan Yuval Noah Harari, dalam bukunya yang berjudul Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu hingga Perkiraan Kepunahannya (Alvabet, 2017; terjemahan Yanto Musthofa), mengatakan bahwa arah evolusi perilaku manusia adalah dari organisme yang semula menyerahkan penilaian-penilaian ke tangan sosok abstrak semacam Tuhan menuju organisme yang menyerahkan penilaian-penilaian ke tangan sesuatu yang bernas dan konkret seperti algoritma.
One Reply to “Spirit Doll dan Kedunguan Berpikir”