Islam merupakan agama yang tak pernah surut dan tak pernah padam dalam mempropagandakan kebenaran. Hakikat kebenaran yang digaungkan oleh Islam merupakan kebenaran yang murni dari Allah, sebagaimana tertulis dalam sebuah:
هو الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق
Kebenaran yang dipropagandakan Islam merupakan kebenaran hakiki, baik dipandang dari syariat, epistemologi, tradisi, dan akal sehat. Rasulullah, selaku lisan pertama yang menyuarakan kebenaran Islam, mendapatkan mandat langsung dari Tuhan melalui Jibril, dan kemudian dilanjutkan secara estafet melalui lisan Sahabat Nabi, berlanjut ke para pengikut setia Sahabat yang karenanya dinamai Tabiin, dan selanjutnya oleh lisan-lisan suci yang selalu membasahi lidahnya dengan dzikir kepada Allah dan menerangi sudut ruangan kecilnya dengan lentera kecil dalam mengais serpihan-serpihan khazanah ilmu para pendahulunya.
Mereka, dan para pendahulu ini, menjaga dengan penuh keteguhan dan kejernihan akan kebenaran yang dibawa dengan sangat ketat dan selektif. Mereka mengakses kebenaran tersebut secara selektif sehingga kredibilitas pembawa kebenaran dan kebenaran yang dibawa dapat dipertanggungjawabkan. Sanad, itulah tradisi ilmiah yang luar biasa memukau yang hanya dimiliki oleh umat Muhammad saja.
Perkembangan sanad yang berlangsung sejak era Rasulullah berjalan secara manual, yakni dengan teknologi hafalan super canggih dari para imam era periode awal-awal Islam. Perkembangan sanad masa awal ini memang didominasi kaum lelaki, dan hanya sedikit sekali wanita yang meramaikan khazanah sanad kala itu.
Memang selama era klasik, laki-laki lebih memiliki peran public, sedang wanita hanya berperan di wilayah domestik. Ini merupakan adat istiadat yang berlaku kala itu sehingga populasi perempuan yang menorehkan namanya di kancah sejarah literasi keilmuan Islam jarang ditemui. Namun begitu bukan berarti tidak ada. Kala itu sudah tercatat beberapa nama yang memiliki andil besar dalam khazanah literasi Islam.
Karena itu, banyak sekali hadits sebagai sumber hukum yang turun bersamaan dengan nash al-Quran dalam konteks menjawab polemik dan problematika yang diajukan (dilatarbelakangi) para perempuan, yang selanjutnya menjadi hukum tasyri.