Ketika setia lembaga formal berlomba-lomba mengedapankan pendidikan intelektual dan pendidikan moral mulai dikesampingkan, maka akan terjadi dekadensi moral. Untuk kembali menyeimbangkan keduanya, maka perlu trobosan guna menyeimbangkan antara intelektual dan moral.
Oleh sebab itu, kitab dengan judul ar-Rasul al-Mu’allim yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Muhammad Sang Guru ini sangat layak untuk dibaca sebagai bahan introspeksi diri terhadap pendidikan yang diterapkan di negeri ini. Sebab, buku menghadirkan sistem pengajaran atau pendidikan yang pernah dilakukan oleh Rasul.
Buku terjemahan memang seringkali tidak cukup mewakili pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Selain keterbatasan bahasa, pemilihan diksi juga harus tepat dan akurat. Namun, Agus Khudhori selaku penerjemah berhasil menarasikan bahasa yang termaktub dalam kitab tersebut dengan baik, sehingga para pembaca tidak dibuat kesulitan untuk memahami teks yang ingin disampaikan oleh Abdul Fattah Abu Ghuddah selaku penulisnya.
Buku ini membedai dari buku-buku tentang Nabi Muhammad. Martin Ling mengupas biografi secara keseluruhan berdasarkan kitab klasik. Atau buku Prophetic Parenting yang ditulis Nur Abdul Hafiz yang membahas pendidikan Nabi ketika berhadapan dengan anak-anak. Atau buku Prophetic Parenting for Girl yang ditulis oleh Misran Jusan. Ia mengupas pendidikan Nabi ketika berhadapan dengan anak-anak perempuan. Namun, buku di hadapan para pembaca ini berbeda. Abdul Fattah mengulas Nabi Muhammad dari sisi pengajarannya kepada para sahabat.
Selain fakta sejarah yang membuktikan bahwa Nabi adalah seorang guru yang serba bisa, buku ini juga merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis. Meski, dalam kata pengantarnya, Abdul Fattah Abu Ghuddah mengakui bahwa terjadi pengulangan nash (Al-Qur’an dan Hadis) karena memang satu nash mengandung lebih dari satu tema. Kita bisa menjumpai pengulangan ayat di halaman 50 dan 81, dan pengulangan hadis di halaman 270 dan 312.
Buku ini menegaskan, pendidikan yang baik akan menghasilkan siswa yang mumpuni. Jika metode pendidikan yang diterapkan Nabi tidak baik, maka tidak akan pernah ada yang namanya Ali bin Abu Thalib sebagai pintunya ilmu, Muadz bin Jabal sang ahli fikih sepeninggal Nabi, atau dari kalangan tabi’in. hingga saat ini, setiap generasi melahirkan ulama, cendikiawan muslim dan terus melahirkan tokoh-tokoh hebat.