Beberapa waktu lalu, penulis diajak selawatan dan berbincang santai dengan para mahasantri Ma’had Aly Al-Tarmasi. Bincang santai itu mengusung tema “Menghapus Stereotype Perempuan Hanya Orang di Balik Panggung”.
Meskipun di dalam yang santai tapi agak serius, obrolan santai itu terbilang seru karena membincangkan tentang perempuan dari kacamata para perempuan itu sendiri.
Sampai pada sesi diskusi, alias tanya jawab, penulis disodori beberapa pertanyaan yang sebenarnya lebih pas disebut “curhatan mbak-mbak banat” ini dalam menghadapi kehidupan sebagai perempuan di lingkungan pondok. Problematika yang dihadapi perempuan di manapun ternyata tidak jauh berbeda. Entah itu di lingkungan pondok maupun di dunia luar.
Di zaman modern ini, ternyata masih ada yang menganggap suara perempuan adalah aurat. Hal ini penulis ketahui dari salah satu mahasantri yang bertanya, “Bagaimana untuk menjadi mahasantri yang aktif, namun di sisi lain mendapat tekanan bahwa perempuan itu tidak boleh terlalu menonjolkan dirinya karena ia adalah sumber fitnah, bahkan suaranya adalah aurat.”
Dari beberapa sumber diketahui bahwa hadis yang menyebut “shoutul mar’ah aurah” itu dhaif. Selain mengelus dada dan menggelengkan kepala, penulis juga masih terheran-heran atas ungkapan perempuan adalah sumber fitnah dan suaranya adalah aurat. Padahal posisinya adalah sama-sama sebagai pelajar, sama-sama mendapatkan hak belajar yang sama, belajar kitab yang sama, diajar guru yang sama, sama-sama makan nasi pula.
Sebagai sesama makhluk Tuhan, hendaknya kita tidak boleh memandang rendah manusia yang lain. Menganggap perempuan sebagai sumber fitnah, sudah tidak lagi relevan diterapkan pada zaman ini. Dunia ini sudah berputar sangat berbeda dengan zaman dahulu ketika hadis tersebut muncul. Banyak kejadian dan peristiwa yang terjadi amat sangat berbeda keadaannya dengan apa yang terjadi pada zaman Nabi. Begitu pula hukum fikih, beberapa cabang ilmu fikih sifatnya fleksibel disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Jika menilik ke belakang, Sayyidah Aisyah ra disebutkan meriwayatkan 2.210 hadis dan ada kurang lebih seperempat dari produk hukum fikih di kalangan ulama bersumber darinya. Lantas, dengan apa Sayyidah Aisyah menyampaikan hadis dan fatwa fikih tersebut? Dengan lisan tentu saja. Jika begini, relevankah masih berpikir bahwa suara perempuan adalah aurat?
Mari melihat definisinya. Aurat adalah segala sesuatu yang harus ditutupi ketika salat. Ini tidak bisa diperdebatkan, karena beberapa referensi tentang ibadah sudah jelas termaktub dalam kitab-kitab para ulama fikih.
Atau, aurat adalah segala sesuatu yang menimbulkan syahwat, termasuk suara. Perlu digarisbawahi bahwa suara yang termasuk aurat adalah suara yang mendesah, mendayu-dayu, bersifat merayu. Karena itu, tidak semua suara perempuan adalah aurat. Ketika yang diperdengarkan adalah suara perempuan yang melantunkan ayat suci Al-Qur’an, apakah akan menimbulkan syahwat? Ketika yang diperdengarkan adalah ceramah perempuan bab zakat, apakah juga akan menimbulkan syahwat?
Ngapunten.. kalau memang iya, berarti bukan salah perempuannya. Yang salah adalah telinga dan otak yang pikirannya melenceng hanya perihal selangkangan saja. Karena dalam menjaga aurat, dibutuhkan kesalingan antara kedua belah pihak. Yang satu menjaga (menutup aurat) dan satunya lagi menundukkan panadangan (menjaga hawa nafsunya).
Dalam hal ini, tidak hanya perempuan yang harus menutup aurat dan laki-laki yang menjaga hawa nafsu. Tapi juga sebaliknya. Karena, baik laki-laki ataupun perempuan sama-sama memiliki kecenderungan untuk fujur (berbuat buruk) sehingga ia bisa menjadi sumber fitnah bagi yang lainnya. Tidak bisa dimungkiri bahwa ada perempuan yang muncul syahwatnya ketika mendengar suara laki-laki. Jadi, apakah dengan begitu juga bisa dikatakan bahwa suara laki-laki adalah aurat?
Jika fitnah yang dimaksud adalah ujian atau cobaan, Profesor Quraish Shihab dalam tafsir Al-Mishbah menuliskan, Thahir bin Asyur mengartikan fitnah sebagai keguncangan hati akibat adanya situasi yang tidak sejalan dengan siapa yang menghadapi situasi itu. Tidak disudutkan pada jenis kelamin tertentu.
Jadi, bukan persoalan jenis kelaminnya, akan tetapi pada pelaku dan perilakunya. Apakah ia bisa menjaga hawa nafsunya atau malah terbujuk rayuan setan belaka…
Wallahu a’lam bisshowab…