“Orang-orang yang lemah di antara kamu bisa menjadi kuat di hadapanku. Aku akan akan membuat para penindas menyerahkan hak mereka. Orang-orang kuat di antara kamu, bisa menjadi lemah di hadapanku. Insyaallah, aku akan melihat orang-orang tertindas memperoleh hak-haknya kembali.” (Pidato Abu Bakar As Shiddiq sesaat setelah menjadi Khalifah).
Dalam pandangan masyarakat awam, sufi adalah jaringan para ulama yang menyepi dari hal-hal duniawi. Pandangan tersebut nyatanya tak seluruhnya benar. Ternyata sufi yang dipandang menjauhi dunia, justru ikut dan terlibat aktif dalam upaya memperbaiki dunia. Apa yang diperbaiki? Kondisi masyarakat yang jauh dari keadilan dan kesejahteraan. Terminologi yang tepat dalam menyebut masyarakat yang tertindas atau jauh dari hak-haknya adalah mustadhafin.
Sebagai teladan bagi umat muslim, Nabi Muhammad SAW memberi contoh dalam upaya membela kelompok yang tertindas. Dalam periode Mekkah, Nabi Muhammad memperjuangkan hak-hak masyarakat yang lemah dan teraniaya, termasuk melindungi hak-hak perempuan, anak yatim, dan budak. Hal ini tercermin dalam ajaran dan tindakan beliau selama masa kenabian di Mekkah, yang terpatri dalam sabdanya: “Sebaik-baik jihad adalah berbicara benar di hadapan penguasa yang zalim” ( Hadis Riwayat Abu Dawud).
Tak mengherankan jika para sufi ikut berjuang dalam upaya melawan penindasan yang terjadi, semata-mata untuk membela kaum yang tertindas dan menegakkan kembali ajaran dan ideologi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Para sufi dalam melawan segala bentuk penindasan berangkat dari kesadaran ideologis yang dibawa oleh baginda nabi. Bahwa kondisi masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang gandrung akan keadilan, masyarakat yang jauh dari segala bentuk penindasan.
Nur Samad Kamba dalam sebuah penjelasannya tentang upaya kaum sufi melawan penindasan menjelaskan bahwa para sufi melanjutkan perjuangan Nabi Muhammad yang bersifat ideal. Kesadaran ini yang harusnya menjadi penggugah umat Islam hari ini, bahwa tak cukup hanya meyakini Nabi Muhammad sebagai seorang utusan Allah saja, tapi juga harus melanjutkan apa yang diperjuangkan Nabi. Bagi Nur Samad Kamba, kondisi umat Nabi dewasa ini hanya sebatas klaim pengikut Nabi saja, tidak merepresentasikan ajaran dan risalah Nabi yang sesungguhnya.