Surat Keenam: Kepada Teguh Esha, dari Indonesia Hari ini

Pak Teguh, yang saya hormati dan takzimi,

Surat ini saya tulis tepat setelah menyemai benih-benih pikiran dari puisi-puisi Bapak, dalam agenda rutin Semaan Puisi, edisi 92. Ada semacam jeda yang terasa aneh, antara khusyuknya saya membaca karya-karya Bapak dan realitas di luar jendela yang rasanya makin semrawut.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/
Teguh Esha.

Di hari dan tanggal yang sama ini, 28 Agustus 2025, Indonesia sedang diserbu “derita” yang tak kalah pilu dari derita yang Bapak tangkap dalam puisi. Ekonomi rakyat sedang lunglai, tapi kebijakan pemerintah justru seperti menabuh genderang perang. Pajak naik, tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun melesat. Entah ini ironi atau humor hitam, saya pun tak tahu.

Melihat tingkah laku para wakil rakyat yang, tiap bulan, dompetnya makin tebal dari keringat dan air mata kita, saya jadi teringat puisi-puisi Bapak. Barangkali, karya-karya itu lahir dari ingatan pahit di masa silam. Saat Bapak harus ikut Ibu ke Jakarta, meninggalkan Banyuwangi yang bergejolak, di mana PKI menyisir siapa pun yang tak sejalan. Saat itu tahun 1959, perpecahan menjadi keniscayaan.

Lalu, tahun 1966, Bapak kembali menjadi saksi bisu atas peristiwa yang merobek tubuh bangsa. Peristiwa demi peristiwa terus saja menyertai perjalanan Bapak. Rasanya, jungkir baliknya hidup ini yang melahirkan puisi-puisi Bapak. Puisi yang punya narasi liar dan tipografi tak beraturan, seolah menjadi cermin dari situasi negeri. Khususnya, para pejabat yang tingkah lakunya lebih liar dari terobosan-terobosan yang harusnya berpihak pada rakyat. Sehingga, rasanya Indonesia, kemarin, hari ini, dan esok, persis seperti frasa puisi Bapak yang menusuk itu, “Indonesia, lu negara apa kuburan!”

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

One Reply to “Surat Keenam: Kepada Teguh Esha, dari Indonesia Hari ini”

Tinggalkan Balasan