Umbu, surat ini saya tulis bukan karena saya ingin mengenang Persada Studi Klub atau mengulang-ulang nama-nama yang pernah kau bimbing di Malioboro. Saya tidak sedang ingin membahas Melodia, antologi puisimu yang lahir setelah kau memilih diam selama puluhan tahun. Surat ini juga bukan tentang puisi-puisi yang kau tulis di koran, lalu hilang ditelan arsip.
Umbu, saya menulis karena terlalu banyak suara sekarang, dan terlalu sedikit yang tahu cara diam. Diam yang bukan pasrah, tapi diam yang membimbing. Kau tidak pernah hadir sebagai tokoh, tapi selalu ada sebagai jejak. Jejak yang tidak ingin dikenal, tapi tidak bisa dilupakan.

Di Jogja, kau membimbing Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Ragil Suwarna Praloapati, Iman Budi Santoso. Kau tidak mendirikan sekolah, tidak membuka kelas, tidak mencetak sertifikat. Tapi mereka tumbuh. Bukan karena metode, tapi karena kau hadir—secara konsisten dan misterius.
Kau ada di angkringan sepanjang Malioboro dan Alun-alun Utara, di bawah pohon beringin keramat keraton, di depan Hotel Mutiara Malioboro. Kau berjalan kaki dari Kota Gede hingga Jalan Kadipiro, seolah puisi bisa ditemukan di trotoar, bukan di ruang seminar.
Kau tidak bicara banyak, tapi kehadiranmu cukup membuat orang merasa sedang diuji. Kau tidak memberi teori, tapi arah. Dan arah itu bukan ke panggung, tapi ke dalam diri. Kau tidak pernah menyuruh orang jadi penyair, tapi entah bagaimana, mereka jadi penyair setelah duduk bersamamu.
Sekitar tahun 1975, kau meninggalkan Jogja. Katanya, kau sempat gundah: apakah akan ke Bandung, Surabaya, atau Malang? Tapi akhirnya kau memilih Bali. Bukan karena promosi pariwisata, tapi karena kau tahu: sunyi di sana lebih jujur. Dan di Bali, kau temui penyair-penyair muda yang kini karya-karyanya tak luput dari pembacaan sastra Indonesia.
Sekadar menyebut beberapa dari sekian banyak yang kau tempa: Putu Fajar Arcana, Raudal Tanjung Banua, Wayan Jengki Sunarta, Warih Wisatsana, hingga penyair-penyair yang tidak pernah kau sebut, tapi kau bentuk.
Ah, Umbu, entah apa maksudmu, setiap jam satu dini hari kau meneleponku dan selalu bilang, “Haram hukumnya penyair tidur di hari Sabtu! Hei bajingan, penyair! Puisi yang prosa, prosa yang puisi!” Kalimat itu kau ulang seperti ritual.
Aku yang mendengarnya tidak tahu harus tertawa atau merenung. Kau bicara seperti sedang mengutuk, tapi juga seperti sedang menyelamatkan. Dan aku, yang sok paham sastra, hanya bisa mengangguk, lalu menulis puisi yang kau abaikan.
Sungguh aku menyesal, Umbu. Tak sempat memenuhi janjiku dan permintaanmu agar dikirimi pakaian khas Madura—yang latar putih dan sabuk besan warna biru daun. Lalu kau tambahkan, “Jangan lupa, bebek khas Madura. Yang wangi bahunya.”
Aku tidak tahu apakah kau bercanda, atau sedang merancang puisi baru. Tapi aku tahu, permintaan itu bukan soal pakaian. Itu soal ingatan. Soal akar. Soal tubuh puisi yang tidak bisa ditulis dengan diksi saja.
Umbu, di zaman ini, penyair sibuk bikin konten. Bait-bait dijadikan caption, puisi dijadikan alat branding. Kau pasti bingung kalau melihat penyair sekarang: lebih sering buka TikTok daripada membuka buku. Mereka bicara tentang puisi sambil jualan kaus, bicara tentang sunyi sambil rebutan panggung.
Kau tidak pernah jadi juri lomba, tidak pernah buka pelatihan menulis puisi, tidak pernah bikin kelas daring berbayar. Tapi kau melahirkan penyair. Bukan dari kurikulum, tapi dari kesetiaan. Kau tidak pernah mengoreksi, tidak pernah memuji, tidak pernah menggurui. Tapi kami belajar. Belajar dari cara kau berjalan, dari cara kau tidak bicara.
Saya dengar, kau dulu suka duduk di bangku taman, mendengarkan anak-anak muda membaca puisi. Kau tidak tepuk tangan. Kau tidak angkat alis. Tapi mereka tahu: kau mendengar. Dan dari mendengar itu, mereka tumbuh.
Umbu, di zaman ini, sebagai penyair aku sibuk bikin konten. Puisi dijadikan caption, bait-bait dipakai untuk endorse produk herbal. Ada yang menulis puisi sambil live streaming, lengkap dengan filter wajah dan efek bunga-bunga.
Kau pasti bingung kalau melihat lihat penyair sekarang: bicara tentang makna sambil pasang tarif. Bahkan di antara kami ada yang menyebut puisinya “bernapas”, padahal baru ditulis lima menit lalu, langsung diunggah, dan besok sudah lupa. Dunia sastra sekarang seperti warung kopi kekinian: estetik, tapi kadang kopinya hambar.
Saya tidak tahu apakah surat ini akan sampai. Tapi saya tahu, kau tidak pernah menunggu surat. Kau lebih percaya pada gumaman, pada bait yang ditulis di kertas warung, pada puisi yang dibaca sambil menanak nasi. Kau percaya pada yang kecil, yang pelan, yang tidak ingin disebut puisi tapi tetap menyembuhkan.
Umbu, kalau kau masih mendengar, dari tempat yang tidak membutuhkan mikrofon, izinkan aku belajar menulis dengan malu. Karena malu adalah bentuk paling awal dari kejujuran. Dan kejujuran, Umbu, adalah hal yang paling langka sekarang—bahkan di dunia sastra.
Ah, Umbu, izinkan saya menutup surat ini dengan mengutip puisimu: “Melodia”
Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
Karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
Baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara luar sana
Sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja
Karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara
Dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
Membukakan diri, bergumul dan merayu hari-hari tergesa berlalu
Meniup seluruh usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu
Takkan jemu-jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
Dalam kerja berlumur suka duka, hikmah pengertian melipur damai
Begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan
Selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan
Rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana
Di ruang kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa
Kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian
Yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan
Salam dari generasi yang terlalu sering ingin tampil, tapi diam-diam masih mencari jejakmu di lorong-lorong sunyi.