Penyebaran dan perkembangan Islam di wilayah Nusantara juga tak bisa dilepaskan dari perjalanan hidup seorang sufi besar yang popular dengan nama Syeikh Singkil. Ia adalah Syekh Abdurrauf as-Singkil, yang memiliki nama lengkap yakni Abdurrauf bin al-Jawiy al-Fansuri.
Nama as-Singkil merupakan laqab yang dinisbahkan pada tempat lahirnya, yakni Singkil, Aceh Selatan. Sebagian riwayat yang menyebutkan Syeikh Singkil memiliki nama lengkap Aminuddin Abdurrauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri.
Syeikh Singkil merupakan ulama besar dari Kerajaan Aceh Darusalam dan memiliki pengaruh yang sangat besar di seluruh Nusantara. Karena pengaruhnya yang demikian luas, Syeikh Singkil juga memperoleh nama panggilan Teungku Syiah Kuala, yang dalam bahasa Aceh berarti Syeikh Ulama di Kuala.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Syiah Kuala merupakan sebuah nisbah dari tempat wafatnya yang terletak di Desa Deyah Raya, Kecamatan Kuala, Krueng, Aceh. Disebutkan dalam riwayat bahwa keluarga Syeikh Singkil berasal dari Persia atau Arabia yang bermigrsi ke daerah Singkil, Aceh Darusalam pada abad ke-13 M. Ayahnya juga merupakan orang Arab bernama Syeikh Ali.
Ia lahir di Singkil, Aceh pada 1024 H/ 1615 M. Pada masa mudanya, Syeikh Singkil menimba ilmu dari ayahandanya sendiri yang juga terkenal alim. Setelah itu, ia berguru kepada ulama-ulama di sekitar Banda Aceh dan Fansur. Saat berumur 27 tahun, Syeikh Singkil berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji serta menuntut ilmu di Timur Tengah.
Diperkirakan, Syeikh Singkil menuntut ilmu disana selama 19 tahun dan baru pulang ke Nusantara saat berumur 46 tahun atau sekitar 1083 H/ 1662 M. Dalam catatannya, seperti terungkap di salah satu kitabnya, yakni Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, dikatakan bahwa Syeikh Singkil memiliki 46 guru. Syeikh Singkil menimba ilmu dari para guru tersebut di sepanjang rute perjalanan haji, yakni dari Doha, Yaman, Jeddah, hingga akhirnya menuju Mekkah dan Madinah.
Selain itu dikatakan bahwa beliau mendapatkan ilmu tasawuf dari dua Syeikh yang sangat mahsyur di kota Madinah, yakni Syeikh Shafiuddin al-Qusyasyi dan Syeikh Ibrahim al-Kurani. Setelah pulang dari Timur Tengah beliau kembali ke Nusantara (Aceh) dengan mengajarkan dan mengembangkan tarekat Syatariyyah yang diperoleh dari dua gurunya tersebut.
Tasawuf Syeikh Singkil
Nama Syeikh Singkil tak bisa dipisahkan dari dunia tasawuf, terutama penyebaran tasawuf di wilayah Nusantara. Pengembaraannya dalam menimba ilmu pada banyak guru yang mengantarkan Syeikh Singkil pada dunia tasawuf. Bagi Syeikh Singkil, tasawuf merupakan landasan pendidikan keruhanian yang sangat urgen atau fundamental. Hal ini dikarenakan di dalamnya berkaitan erat dengan masalah pandangan hidup manusia agar memiliki pemikiran yang komprehensif, kokoh, dan tidak mudah goyah.
Dari berbagai literatur kita tahu, Syeikh Singkil dikenal sebagai sosok yang mengembangkan ilmu tasawuf, dengan berpedoman secara ketat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Baginya, Al-Quran dan As-Sunnah merupakan dua pegangan yang sangat penting bagi setiap muslim sebagai pandangan hidup agar tidak terjerumus kepada kesesatan. Hal ini didasarkan atas Hadis Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa jika umatnya berpegang teguh kepada Kitab Allah dan Sunnahnya, maka ia akan mendapatkan petunjuk dan senantiasa pada jalan yang lurus.
Komitmen dan kesetian Syeikh Singkil berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber dan landasan pemikiran tasawufnya mempunyai makna yang sangat mendalam. Hal ini karena kedua pegangan itulah yang merupakan dasar yang paling utama secara normatif sebagai sarana Syeikh Singkil dalam melahirkan berbagai pemikiran tasawufnya. Secara tersirat hal ini terlihat pada pemahaman dan konsep-konsepnya mengenai tauhid yang membicarakan berbagai hal-hal yang bersifat ontologis, seperti pemahamannya tentang eksistensi Allah, wujud Allah, dan hubungan antara Allah, manusia, dan alam semesta.
Syeikh Singkil tercatat sebagai salah seorang tokoh tasawuf yang menyebarkan doktrin Wahdat al-Wujud, konsep yang berasal dari Ibnu’Arabi. Dalam tasawuf, Wahdat al-Wujud dipahami sebagai suatu kesatuan wujud. Penjelasannya, pada dasarnya wajah itu merupakan satu kesatuan, namun bila banyak bercermin maka akan menjadi banyak.
Dalam kitab Kifayatul Muhtadin, Syeikh Singkil menjelaskan bahwa Allah melihat diri-Nya pada diri-Nya sendiri tatkala Dia menciptakan alam semesta ini. Dari penjelasan ini dapat ditarik benang merah bahwa melalui diri-Nyalah Allah melihat diri-Nya sendiri, kemudian diciptannya alam semesta ini yakni sebagai tajalli-Nya. Sedangkan, diciptakannya manusia sebagai cermin atau bagaikan tubuh tanpa ruh. Dengan demikian, Allah dan Asma-Nya ialah ruh pada tubuh manusia tersebut.
Dalam konsep Syeikh Singkil, Zat Allah itu merupakan wujud yang hanya satu. Sedangkan, manusia dan alam semesta ini hanyalah bayang-bayang dari Allah. Karena itu, alam semesta ini tidak boleh disebut sebagai Allah (‘ain al-Haqq). Alam semesta ini pada dasarnya tidaklah berwujud dengan sendirinya, melainkan tergantung kepada Allah Yang Maha Esa. Jika sesuatau tidak berwujud dengan sendirinya, maka pada dasarnya wujud sesuatu yang tidak berwujud tersebut milik sesuatu yang berwujud. Inilah yang merupakan puncak pemahaman ketauhidan.
Syeikh Singkil juga banyak mengembangkan konsep emanasi (al-Fa’id) dalam bertasawuf. Konsep ini menegaskan bahwa alam semesta merupakan suatu penciptaan oleh Allah melalui al-fa’id (pemancaran atau emansi) dari Zat Allah. Artinya, wujud alam itu pada hakikatnya tidaklah berdiri sendiri, malainkan ada karena pancaran dari Zat Allah. Bahkan, alam ini disebutnya juga bukanlah benar-benar dari-Nya secara absolut, hal ini karena tentu saja akan terdapat wujud yang kedua yang akan berdiri disamping Zat-Nya.
Dalam pandangan Syeikh Singkil, sejak zaman azali tak ada satupun yang menyertai Allah, hal ini dikarenakan Dialah yang pertama kali berwujud atau ada sebelum ciptaan-Nya tercipta. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa keberadaan alam semesta ini merupakan sesuatu yang baru. Kemudian dapat ditarik benag merah bahwa alam itu tercipta dari pancaran Zat Allah, alam juga bukanlah suatu wujud yang menyertai, melainkan wujudlah yang diciptakan oleh-Nya. Dengan demikian jelaskah bahwa pada hakikatnya alam itu tidaklah mempunyai kesejajaran derajat dengan Allah, melainkan tingkatannya berada di bawah Allah.
Tasawuf yang dikembangkan Syeikh Singkil juga mencakup hakikat tujuan penciptaan. Menurutnya, Allah menciptakan manusia tidak lain adalah untuk menjadi hamba Allah yang taat terhadap perintah dan larangannya sebagaimana yang termaktub dalam kitab-Nya, termasuk di dalamnya berupa ibadah dan amalan-amalan lainnya.
Dalam hal tujuan penciptaan manusia, Syeikh Singkil mengutip ayat yang terdapat dalam Q.S Al-Baqarah ayat 21, yang menjelaskan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia tak lain ialah untuk beribadah dan bertakwa kepada-Nya. Selain itu, Syeikh Singkil juga mengutip dalam Q.S Al-Baqarah ayat 30 yang menjelaskan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia adalah sebagai khalifah di muka bumi.
Sebelum Syeikh Singkil pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu, di Kerajaan Aceh Darusalam telah berkembang paham atau ajaran wujudiyah. Oleh Nurrudin ar-Raniri, ajaran wujudiyah tersebut dianggap sesat bahkan penganutnya ia anggap telah murtad (keluar dari agama Islam). Hal ini juga didukung oleh kebijakan politis dari Kerajaaan Aceh Darusalam, sehingga diberlakukan hukuman bagi pengikut aliran ini.
Syeikh Singkil, setelah pulang ke Aceh, memberikan respons terhadap apa yang dilakukan Nurrudin ar-Raniri terhadap aliran tasawuf wujudiyah. Syeikh Singkil, apa yang dilakukan Nurrudin ar-Raniri merupakan tindakan yang terlalu emosional. Dalam pandangannya, konsep martabat tujuh itu letaknya pada kedudukan Tuhan dan segala sesuatu yang Dia ciptakan.
Dalam hal ini, Syeikh Singkil menekankan pada aspek transendensi Tuhan terhadap ciptaan-Nya ketimbang aspek imanensi yang dalam pandangannya merupakan paham aliran tasawuf wujudiyah. Pendapatnya tersebut ia sandarkan dari apa yang diungkapkan oleh Nur Muhammad bahwa pada dasarnya Tuhan itu menciptakan suatu ciptaan-Nya ialah sebagai sumber entitas lahir saja, yaitu ciptaan yang bentuknya konkret yang sangat berbeda dari wujud mutlak. Pemahamannya inilah yang dapat dikatakan bahwa beliau menolak paham aliran tasawuf wujudiyah yang berkembang di Kerajaan Aceh Darusalam.
Rekonsiliasi Syariat-Tasawuf
Dalam mengembangkan tasawufnya, Syeikh Singkil berusaha untuk merekonsiiasi antara syariat dan tasawuf seperti halnya yang dilakukan oleh Syeikh Syamsuddin al-Sumanterani (murid Hamzah Fansuri) dan Syeikh Nurrudin ar-Raniri. Langkahnya adalah dengan menganut paham wujud yang hakiki, yakni Allah SWT.
Menurutnya, segala ciptaan Allah bukanlah wujud yang hakiki, melainkan hanya bayang-bayang dari wujud yang hakiki. Sehingga dapat ditarik benang merah bahwa Allah sebagai Sang Khalik berbeda dengan ciptaan-Nya. Meskipun demikian, antara yang memancarkan bayang-bayang (Allah SWT) dan bayang-bayang (ciptaan-Nya) memiliki persamaan atau keserupaan. Oleh karena itulah maka berbagai sifat pada manusia atau alam sekitar ini merupakan bayang-bayang dari Allah, seperti hidup, mendengar, melihat, dan lain sebagainya.
Menurut Syeikh Singkil, terdapat tiga martabat wujud Tuhan, yakni martabat ahadiyah, martabat wahdah, dan martabat martabat wahdiyah. Martabat ahadiyah diartikan bahwa alam semesta ketika belum diciptakan merupakan sesuatu yang gaib yang masih dalam genggaman Tuhan. Martabat wahdah diartikan bahwa sudah terciptanya Muhammadiyah yang berpotensi terbentuknya alam semesta. Adapun, martabat wahdiyah berarti bahwa di sinalah terbentuknya alam semesta.
Menurut Syeikh Singkil, lafaz “Kami Engkau, Aku Engkau, dan Engkau Dia” merupakan suatu lafaz yang berada pada tingkat martabat wahdah, karena saat itu antara unsur Tuhan dan manusia masih belum bisa dibedakan. Tingkatan-tingkatan inilah yang dimaksudkan oleh Syeikh Singkil sebagaimana dalam syair-syair dari Ibnu al-Arabi.
Namun setelah pada tingkatan martabat wahdiyah, alam ciptaan-Nya telah mempunyai sifatnya tersendiri. Pada masa ini Tuhan merupakan cerminan dari ciptaan-Nya, tetapi Dia bukanlah sesuatu lainnya. Kemudian, Syeikh Singkil menegaskan bahwa satu-satunya jalan mencapai tingkat kepercayaan tentang adanya wujud Tuhan adalah dengan berzikir la ilaha ilallah.
Dan kita, pada akhirnya tasawuf yang dikembangkan Syeikh Singkil itu memiliki andil besar terhadap penyebaran Islam di Nusantara dan termasuk Malaka. Jejak-jejak ajaran tasawuf Syeikh Singkil masih terasa hinggi kini pada komunitas-komunitas Muslim di Nusantara.