Aceh sebagai provinsi paling ujung barat di Nusantara dikenal juga dengan sebutan Negeri Serambi Mekkah. Sebutan itu tidak terlepas dari peran Aceh sebagai jalur pertama masuknya Islam ke wilayah Nusantara, meskipun masih ada perbedaan pendapat terkait hal ini di kalangan intelektual Islam.
Atas perannya itu, tidak sedikit ulama dan tokoh intelektual muslim lahir di Aceh. Bahkan dayah, pesantren yang tertebaran di pelosok di negeri Serambi Mekkah, menjadi gudangnya ulama. Salah satu daerah yang telah melahirkan banyak ulama di Aceh adalah Samalanga, Kabupaten Bireuen, yang dikenal dengan julukan Kota Santri.
Di Era millenial saat ini, membicatakan Kota Santri Samalanga, bahkan Aceh, tidak bisa lepas dari peran sosok ulama kharismatik Aceh yang telah melahirkan banyak ulama dan tokoh, yaitu Al-Mursyid Abu Syekh H Hasanoel Basri HG. Tokoh yang sering disapa dengan Abu MUDI ini dikenal sebagai sosok yang alim. Saat ini, ahli tasawuf ini juga dipercaya menjadi Mutasyar Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU) 2022-2027.
Riwayat Abu MUDI
Syekh Abu MUDI merupakan pimpinan Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga. Sosoknya memang tidak begitu banyak dikenal. Itu karena ia merupakan ulama yang sangat tawadhu. Namun, Abu MUDI mempunyai pemikiran yang brilian, sedikit berbicara, bahkan kerap tampil di forum resmi.
Berdasarkan catatan sejarah yang penulis gali dari berbagai pihak dan manuskrips, disebutkan bahwa sosok Syekh Abu Mudi dilahirkan di Desa Uteun Geulinggang, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, pada 21 Juni 1949 yang bertepatan dengan 26 Syaban 1368 H.
Syekh Abu MUDI keturunan asal Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya (dulu Pidie) dari jalur kakeknya. Memang sejak dulu orang Pidie banyak yang berhasil menjadi tokoh, ulama, dan lainnya di perantauan, termasuk Abu MUDI. Bahkan Muzakkar A Gani, mantan Bupati Bireuen (2020), termasuk jaringan Dayah MUDI Mesid Raya Samalangan sebagai ulama Al-Aziziyah, Al-Idrisiyah, dan Al-hanafiah yang asalnya juga dari ulama Pidie Tgk Idris, asal laweung Pidie.
Tgk Idris merantau ke Tanjongan Samalanga, lalu berkeluarga dan mengajarkan ilmunya. Dari situlah ia melahirkan keturunan yang kemudian hari menjadi ulama ketiga jaringan ulama baik Al-Aziziyah (Setiap Dayah alumni MUDI Mesjid Raya Samalanga ditabalkan di ujung nama dengan Al-Aziziyah), Al-Hanafiah, dan Al-Idrisiah.
Sudah menjadi tradisi warga Pidie perantauan, termasuk ayahanda dari H Gadeng (kakek dari Abu MUDI), merantau ke Krueng Geukeuh, Aceh Utara dan berkeluarga di kawasan Krueng Geukeuh. Sementara, keturunan jalur ibunda (nenek), Abu MUDI berasal dari Samalanga, tepatnya Gampong Namploh Papeun yang tidak jauh dari Kompleks Putri Dayah MUDI Samalanga yang dihalangi oleh Krueng Batee Iliek.
Ayahanda Abu MUDI bernama Tgk H Gadeng bin Bulang, dilahirkan di Desa Tambon Baroh tahun 1910 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Ibunda Abu MUDI, Hj Manawiyah binti Sandang, lahir di Desa Geulumpang Sulu Timu tahun 1923 juga di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara.
Setelah berkeluarga dan menetap di Desa Uteun Geulinggang Dewantara, Aceh Utara, keluarga Tgk H Gadeng bersama Hj Manawiyah dikaruniai tiga orang anak. Putra sulungnya, Tgk H Hasanoel Bashri (Abu MUDI), lahir 21 Juni 1949. Tujuh tahun kemudian lahir lagi anak laki-laki kedua diberi nama Muhammad, tetapi di usianya yang masih bayi, Allah memanggilnya untuk selamanya. Sedangkan, putra ketiga yang lahir tujuh tahun setelah kelahiran putra kedua diberi nama Syamsul Bahri.
Dengan kehidupan yang berlatar belakang agama yang tinggi serta disiplin yang ayah beliau tanamkan, sejak kecil Abu MUDI menjadi sosok yang sangat mencintai agama serta tekun dalam mempelajarinya. Sejak berusia lima tahun, seperti umumnya anak-anak masyarakat Aceh pada masa itu, ia mengikuti pendidikan dasar di Sekolah Rakyat swasta di Krueng Geukueh selama tujuh tahun, sebelum menempuh pendidikan PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama) selama dua tahun dari standar program pendidikan empat tahun.
Pada 1964, setelah sempat mengenyam pendidikan di PGAP (setingkat SMP sekarang) selama dua tahun, ia memutuskan tidak lagi melanjutkan pendidikan umum karena melihat kualitas pendidikan yang sangat rendah pada saat itu. Atas inisiatif sendiri, di usia 15 tahun ia memutuskan untuk belajar ke Dayah Mesjid Raya yang sudah cukup dikenal masyarakat pada waktu itu.
Singkat cerita, setelan lebih dari 10 tahun mengenyam pendidikan di Dayah MUDI, pada usia 28 tahun ia menikahi putri sulung Abon Aziz (Syekh Abdul Aziz Al-Mantiqi), gurunya yang merupakan pimpinan Dayah MUDI yang bernama Ummi Shalihah dan dikarunia tujuh orang anak,masing-masing bernama Zahrul Fuadi Mubarrak (1979), Su’aidah (1980) (meninggal saat bayi), Zahrah Mahfudhah (1984), Nurul A’la Rabi’ah ‘Adawiyah (1985), Muhammad Thaifur (1988), Muhammad Abrar Azizi (1989), dan terakhir bernama Abdul Muhaimin (1991).
Didikan Abu MUDI kepada anaknya dibesarkan belajar agama di dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan belajar pendidikan formal di kawawan Samalanga dan semuanya hingga menjadi guru juga belajar di Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, kecuali putra bungsu Tgk Abdul Muhaimin yang sempat belajar kelas tauthiah di Dayah LPI Dayah Raudhatul Ma’arif Co Trueng Aceh Utara.
Kedua putrinya juga dinikahi oleh ulama muda Aceh Abiya Mafadh (Tgk. H Muhammad) yang beristrikan Nurul A’la Rabi’ah ‘Adawiyah, sedangkan Zahrah Mahfudhah suaminya juga agamawan dan akademisi Dr. Tgk. H. Muntasir A kadir (Ayah Mun), dosen Unimal Lhokseumawe dan pimpinan Dayah Jami’ah Al-Aziziyah (DJA) Batee Iliek Samalanga. Sedangkan putra sulung Abu MUDI kini yang dikenal dengan sebutan Abi MUDI sosok ulama yang alim dan dipercayakan menjadi Wadir I MUDI Mesjid Raya Samalanga dan MUDIR Ma’had Aly MUDI Samalanga dan kini menunggu sidang akhir disertasi di UINSU Medan.
TGk. Muhammad Abrar Azizi saat ini masih mengajar di Dayah MUDI Samalanga dan dipercayakan menjadi Rektor IAI Al-Aziziyah Samalnga dan kandidat doktor UIN Sumatera Utara. Sementara itu putra bungsu Abu MUDI TGk. Abdul Muhaimin selain mengajar di MUDI Samlanga juga fokus di luar dayah sebagai pengusaha dan politisi dan pendidikan formalnya di Pascasarjana Unimal Lhokseumawe.
Reformasi Dayah
Abu MUDI dikenal sebagai sosok ulama yang reformis bahkan revolusioner. Hal ini tak lepas dari perannya dalam pendirian Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah Samalanga, yang berdiri tak jauh dari Dayah Ma’had Ulum Diniyah Islamiah (MUDI) Samalanga yang berada di bawah naungan Yayasan Al-Aziziyah.
Awalnya, pendirian IAI) Al-Aziziyah Samalanga memantik pro-kontra karena mengusung konsep pendidikan yang mengintegrasikan ilmu di era digital. Saat ini, IAI) Al-Aziziyah tercatat sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi Islam di Nusantara yang berbasis “boarding school” (pemondokan) dan termasuk yang paling maju. Banyak orang tua menempatkan anaknya untuk dididik menjadi generasi yang andal di IAI Al-Aziziyah Samalanga.
IAI Al-Aziziyah Samalanga merupakan hasil ijtihad Abu MUDI yang juga seorang mursyid tarekat Naqsyabandiyah. Saat didirikan pada 2003, awalnya bernama STAI Al-Aziziyah. Saat itu Abu MUDI dikritik oleh banyak kalangan baik intern dayah MUDI sendiri maupun eksternal luar dayah, bahkan oleh kaum intelektual dayah yang telah menempuh pendidikan umum.
Ijtihad Al-Mursyid Abu MUDI ini bukanlah lahir secara tiba-tiba. Namun telah melalui musyawarah dengan masyaikh. Tujuannya menghadirkan konsep pendidikan sesuai perkembangan zaman. Namu begitu, Dayah dan IAI Al-Aziziyah tetap berjalan beriringan dan saling melengkapi, yang berkiblat kepada akhi kabir Dayah MUDI Mesjid Raya dalam aktivitas sehari-hari.
Catatan sejarah yang penulis perolah, sepanjang menjadi santri, guru juga mahasiswa serta dosen di lembaga Al-Aziziyah (Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan IAI Al-Aziziyah Samalanga), menyebutkan bahwa lahirnya STAI Al-Aziziyah Samalanga (Kini IAI Al-Aziziyah Samalanga) awalnya kerap menjadi polemik.
Mereka yang kontra ada alasan tersendiri, dengan menyebutkan masa Allayurham Abon Abdul Aziz Samalanga bahkan beliau benci kepada perkuliahan. Mereka ini kita istilahkan dengan “qaul qadim“. Sedangkan, mereka yang pro dan sependapat dengan Abu MUDI dikenal dengan “qaul jadid“. Abu MUDI berada di barisan ini.
Abu MUDI melihat realitas saat ini dengan problemnya. Ia melihat fenomena umat dan era globalisasi terus mengancam dekadensi moral dan akidah. Karena itu, menurutnya, generasi penerus itu tidak boleh melupakan kewajiban belajar agama sebagai fardhu ain sebagai kewajiban pokok dan pendidikan yang berkiblat kepada fardhu kifayahnya juga masih kemungkinan dapat ditempuh. Pendirian Al-Aziziyah tersebut dimaksudkan untuk menjawab tantangan zaman ini.
Sekokah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aziziyah Samalanga resmi berubah status sebagai Institut Agama Islam Al-Aziziyah pada 2014. Kini lembaga pendidkan tersebut di bawah kepemimpin Teungku Muntasir A. Kadir yang juga menantu Al-Mukarram Abu MUDI. Kini, IAI Al-Aziziyah yang berlokasi di gampong Mideun Jok Samalanga, Bireuen perlahan terus berkembang pesat. Bermacam ragam terobosan telah dilakukan dan saban tahun mahasiswanya terus membeludak.
Banyak salah ketik,,,,