Masih banyak yang hanya tahu bahwa Syekh Siti Jenar atau Abdul Jalil adalah seseorang yang hidup di era Wali Songo yang dieksekusi mati oleh Sunan Kudus karena ajarannya dinilai menyimpang. Padahal, jika membicarakan manusia fenomenal ini, mungkin akan membutuhkan banyak waktu.
Ajaran Syekh Siti Jenar yang kita yakini dalam cerita adalah manunggaling kawulo lan Gusti. Ajaran yang menyatakan bahwa kawulo dan Gusti adalah satu, tidak ada beda, dua yang menjadi satu, atau kosong yang menjadi satu. Kawulo adalah manusia atau hamba Allah, sedangkan Gusti adalah Tuhan.
Apakah mungkin Tuhan itu seperti makhluk ciptaan-Nya? Atau apakah perwujudan Tuhan adalah sama dengan perwujudan Syekh Siti Jenar? Tentu saja tidak. Sesat jika kita memikirkan seperti itu. Namun, apakah pemikiran itu yang Abdul Jalil coba untuk berikan kepada masyarakat pada saat itu? Mungkin perlu penelitian yang lebih dalam mengenai hal ini, karena dialektika satu saja pasti kurang mendalam. Apalagi dialektika ini hanya dipahami dari sudut pandang sempit dalam pemikiran mikro.
Intermezo dahulu sebelum pembahasan yang lebih dalam. Ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan ajaran tersebut, para wali terutama Sunan Kudus datang menemui Abdul Jalil untuk memberitahukan bahwa ajarannya sebenarnya tidaklah salah, namun masyarakat belum siap untuk menerima itu, apalagi penyampaiannya di depan umum. Sehingga, ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dibunuh bukanlah Syekh Siti Jenar, melainkan ajarannya saja. Ada pula beberapa teori lain mengenai hilangnya Syekh Siti Jenar dalam era Wali Songo. Jadi, apa hakikat manunggaling kawulo-Gusti?
Jika ada yang menafsirkan bahwa ajaran tersebut adalah ajaran tauhid, apakah itu diperbolehkan? Anda semua yang menilai, karena ilmu saya pasti akan kalah dengan ilmu Anda yang luas. Tapi, saya akan memberikan jawaban naif saya, jawaban yang mungkin didasari oleh ketidaktahuan dan kedangkalan ilmu saya.
***
Laailaha ilallah, tidak ada Tuhan selain Allah. Tidak ada yang luput dari pengawasan Allah. Makhluk adalah ciptaan Allah dan pemanifestasian kekuasaan Allah. Jika percaya atau beriman terhadap Allah, maka harus percaya pula dengan ketetapan Allah. Jika percaya dengan ketetapan Allah, maka harus tidak pernah berpikir bahwa ada hal yang kebetulan di dalam kebenaran ini.
Sistem tauhid yang diciptakan Allah memang men-Tuhan-kan Tuhan, mempercayai Tuhan dan segala kekuasaan-Nya. Sama seperti tafsir tauhid dari manunggaling kawulo-Gusti, yang berarti hanya ada Allah dalam dirinya, karena hatinya dan Allah sudah menyatu. Hatinya sudah dipenuhi dengan keagungan sang Maha Agung.
Perihal ini merupakan kaitan hubungan manusia dengan Tuhan, bukan menuhankan manusia. Jika seseorang sudah bertauhid, maka apa pun yang dilakukan dan apa pun gerak-geriknya akan selalu ada Tuhan di dalamnya. Kejadian seperti inilah yang membuat manusia menjadi jalma kang utama.
Jika ada yang mengira bahwa Tuhan itu sangat jauh, berada di langit ketujuh, berada di surga, maka pemikiran seperti itu masih dilandasi pemikiran yang materialis. Karena hakikat Tuhan adalah menyatu dengan diri kita.
Jika seorang pejabat pemerintahan sudah bertauhid, sudah manunggal dengan Tuhan, maka tidak akan ada disasosiasi antara dirinya dengan Tuhan. Dinamika yang terjadi adalah dinamika ketuhanan. Dia tidak akan menyakiti rakyat karena takut menyakiti Tuhan. Dia tidak akan berbohong karena takut menghina Tuhan. Mungkin dinamika yang paling tinggi adalah bukan karena takut, tetapi memang karena kebutuhan. Dia tidak akan korupsi karena kebutuhannya sudah dicukupkan Tuhan, sehingga jika dia korupsi, maka Tuhan bukan lagi kebutuhannya, melainkan Tuhan sebagai pendukung kepentingannya.
Manunggaling kawula lan Gusti adalah sistem tauhid. Kita sepakat bahwa hanya Allah Yang Maha Ada. Lalu semua eksistensi makhluk, termasuk diri kita ini apakah ada? Sebenarnya kita tak pernah ada, kita hanya diberikan kesempatan untuk menentukan jalan agar kembali kepada-Nya.
Lantas kalau kita ini tak ada, siapakah sebenarnya kita? Ya, kita adalah cipratan Keagungan Allah. Kita adalah manusia yang berasal dari cipratan Allah, hanya saja kita masih berada di dunia, oleh sebab itu kita masih disebut manusia. Allah sedang bertajali dengan kita. Dan ketika sudah sampai momentum itu, semua akan kembali ke sumbernya, yaitu Allah. Manusia dan apa pun di alam semesta ini akan kembali ke sumber darimana ia ada.