Aktivitas penafsiran terhadap Al-Qur’an seolah tiada habisnya. Semenjak masa Nabi hingga sekarang, penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran terus dilakukan oleh para ulama pada masa mereka masing-masing. Penafsiran pun berkembang, sehingga penting kiranya untuk mengkaji tahapan-tahapan periode perekembangan tafsir dari masa Nabi sampai masa kita sekarang. Dalam artikel ini, penulis mencoba untuk menuangkan sebagian maklumat tentang bagaimana tafsir pada masa Nabi.
Nabi dan Wahyu
Menurut Nuruddin ‘Itr dalam kitabnya Ulum al-Qur’an al-Karim, wahyu secara istilah merupakan petunjuk Allah SWT yang ditujukan kepada hamba yang dipilih, secara rahasia dan seketika.
Makna serupa juga diutarakan oleh Muhammad Ahmad Muhammad Ma’bad dalam kitabnya Nafahat min al-ulum al-Qur’an, namun lebih detail dengan menambahkan, “secara rahasia, tersembunyi, dan tidak dapat dikira-kira atau dengan cara tidak biasa bagi manusia.”
Dalam hal ini, Manna Khalil al-Qattan memberikan definisi paling lengkap dari sumber di atas, yaitu membaginya menjadi dua definisi. Pertama, definisi dari bentuk ism maf’ul المٌوْحَى yaitu kalam Allah SWT yang diturunkan kepada nabi dari nabi-nabinya. Kedua, dari bentuk masdar الوَحْيُ yang definisinya kurang lebih sama dengan definisi Nuruddin ‘Itr dan Muhammad Ahmad Muhammad Ma’bad.
Istilah wahyu sangat berkaitan erat dengan Nabi Muhammad. Semua perkataan Nabi merupakan wahyu, berbeda dengan manusia pada umumnya. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat al-Najm3-4:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى، اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ
Dengan demikian, tafsir Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT, hanya tidak termasuk dalam teks Al-Qur’an. Bahkan, segala hal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, dari perkataan, perbuatan, ketetapan, dan gambaran sifat merupakan hadis. Tentunya, Al-Qur’an dan Hadis sama – sama merupakan wahyu dari Allah SWT.
Tafsir Masa Nabi
Sudah menjadi Sunnah Allah, untuk mengutus setiap rasul sesuai dengan lisan kaumnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ibrahim ayat 4:
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗفَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Dengan demikian, kitab yang diturunkan kepada setiap rasul sudah pasti juga dengan berbahasa rasul dan kaumnya. Jika baginda Nabi berbahasa Arab, maka kitab yang diturunkan juga berbahasa Arab. Hal ini senada dengan penjelasan Al-Qur’an pada dua ayat ini:
اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
وَاِنَّهُ لَتَنْزِيْلُ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۗنَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْاَمِيْنُ ۙ عَلٰى قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ ۙبِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِيْنٍ ۗ
Allah SWT telah menjaga Al-Qur’an di dalam diri Nabi SAW.
اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗ ۚ فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهٗ ۚ ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهٗ
Oleh karena itu, Nabi Muhammad sangat memahami betul Al-Qur’an secara umum dan perinciannya. Tidak sampai di situ, Nabi bahkan mengemban tugas untuk menjelaskan apa yang diturunkan kepadanya. Penjelasan inilah yang akan menjadi tafsir nantinya.
وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Ketika kita berbicara tentang tafsir di masa Nabi, maka pasti berkaitan juga dengan Sahabat. Karena, mereka berada di masa yang sama. Lalu, bagaimana dengan Sahabat, apakah mereka paham tentang Al-Qur’an sama seperti Nabinya.
Dalam hal ini pada umumnya, Sahabat memahami Al-Qur’an juga, karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Tetapi, mereka tidak memahaminya secara detail, bahkan meskipun telah memahami sedemikian rupa, ternyata pemahaman mereka masih tetap berbeda-beda.
Contohnya saja, ketika sahabat Nabi, Umar bin Khattab, membaca ayat. وَفَاكِهَةً وَّاَبًّا. Para Sahabat mengerti makna fakihah, tapi mereka tidak memahami apa makna dari al-ab.
Contoh lainnya, Sahabat Nabi, Ibnu Abbas RA pada awalnya belum memahami makna fathir pada ayat فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ, akan tidak tetapi tidak lama kemudian Ibnu Abbas RA memahaminya, karena mendengar kata fathir dari perselisihan dua orang Arab, yang terjadi di dekat sumur.
Ada beberapa cara Sahabat dalam memahami Al-Qur’an ketika masa Nabi. Pertama, bersandar kepada Al-Qur’an. Ada ayat yang bentuknya mujmal di suatu tempat ayat dan di tempat lain datang dengan bentuk mubayyin. Adapula yang mutlaq dan ‘amm lalu datang kemudian muqayyad dan takhsis-nya, seperti pada ayat:
اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ
yang ditafsirkan dengan ayat: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ .
Kedua, bersandar kepada baginda Nabi. Baginda Nabi SAW merupakan penjelas bagi Al-Qur’an. Oleh karena itu, Sahabat merujuk kepada Nabi jika terdapat ayat yang belum bisa dipahami maknanya. Sebagaimana dalam hadit yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, ketika turun ayat:
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
Para Sahabat tidak memahami maksud dari lafal bizu lmin, sehingga mereka bertanya kepada Nabi SAW akan makna yang dimaksud oleh ayat tersebut. Nabi pun menjawab. Demikian kita telah mendapat sedikit gambaran, bagaimana tafir di masa Nabi SAW, bagaimana para sahabat menafsirkan Al-Qur’an ketika bersama Nabi.
Mengajarkan Tafsir
Sahabat pasti memahami makna ayat Al-Qur’an yang turun kepada Nabi, hal itu karena mereka berbahasa Arab. Tetapi bukan tidak mungkin akan terjadi perbedaan pemahaman dalam memahami ayat Al-Qur’an. Terutama pada hal gharib dan mutashabih.
Ibnu Qutaibah berkata, “Pemahaman orang-orang Arab berbeda-beda dalam memahami seluruh makna yang ada dalam Al-Qur’an, terutama dalam hal gharib dan mutashabih. Tetapi, pemahaman mereka saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.”
Ibnu Khaldun juga sependapat dengan Ibnu Qutaibah dan menambahkan bahwa, “Nabi SAW menjelaskan kepada Sahabat tentang mubayyin dari ayat yang mujmal. Kemudian menjelaskan mana yang nasikh dan mansukh, dan menceritakan tentang sebab-sebab turunnya ayat serta keadaan ketika itu.
Ulama berbeda pendapat soal apakah Nabi menjelaskan makna Al-Qur’an seluruhnya, sebagian besar, atau sebagian kecil saja. Adapun perbedaan pendapat dalam hal ini, bisa kita golongkan menjadi dua pendapat.
Pertama, golongan yang mengatakan bahwa seluruhnya telah dijelaskan. Tokoh yang paling menonjol mengutarakan pernyataan ini adalah Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir. Menurutnya, Nabi telah menjelaskan makna dari Al-Qur’an seluruhnya kepada para Sahabat.
Kedua, golongan yang mengatakan bahwa tidak semuanya telah dijelaskan. Dalam golongan ini terdapat Imam Suyuti. Menurutnya, Nabi telah menjelaskan sebagian besar saja dari Al-Qur’an.
Ada kritik dari Ibrahim Abdurrahman Muhammad Khalifah dalam bukunya yang berjudul Dirasah fi Manahij al-Mufassirin terhadap pernyataan yang diutarakan oleh Ibnu Taimiyah. Menurutnya, tidaklah mungkin bagi Ibnu Taimiyah untuk menyatakan bahwa Nabi SAW telah menjelaskan makna Al-Qur’an seluruhnya, dalam waktu yang sama dia juga menyatakan hal yang kontradikitif di dalam mukadimahnya.
Setidaknya, ada dua titik yang dikritik oleh Ibrahim Abdurrahmann Muhammad Khalifah.
Pertama, dalam mukadimahnya, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa sebaik-baiknya cara menafsirkan Al-Qur’an adalah dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Apabila demikian, maka tidaklah mungkin Sunnah menjelaskan makna Al-Qur’an seluruhnya. Karena, apabila pernyataan ini dilanjutkan, hasilnya adalah tidak akan ada ruang bagi tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Kedua, dari perkataan Ibnu Taimiyah sendiri juga menyebutkan, “Jika kita tidak mendapatkan tafsir dari Al-Qur’an maupun Sunnah, maka kita akan merujuk kepada Sahabat. Karena sesungguhnya mereka yang paling mengetahui dan menyaksikan langsung kejadian dan keadaan. Mereka juga paham betul dan memiliki ilmu, apalagi ulama-ulama dari kalangan Sahabat seperti empat Khulafah al-Rashidin, dan masih banyak yang lainnya.
Jika memang demikian, maka nantinya tidak akan ada ruang untuk merujuk kepada Sahabat, karena Sunnah sudah menjelaskan seluruhnya. Ibnu Taimiyah tentunya memiliki landasan dalil juga untuk menguatkan pernyataannya di atas. Pertama, adanya ayat
وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Lafaz مَا ini menunjukkan makna umum, mencakup semua lafaa Al-Qur’an beserta maknanya, karena tidak ada ayat yang me-nakhsis-nya.
Kedua, para Sahabat ketika belajar Al-Qur’an mereka juga belajar ilmunya, dan pengamalannya. Sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk menghafal surat-surat dari Al-Qur’an.
Semua pernyataan tersebut juga disanggah oleh Ibrahim Abdurrahman Muhammad Khalifah. Beliau menyebutkan, “Ada ayat yang menjadi mubayyin untuk dalil di atas, yaitu ayat:
وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ اِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِى اخْتَلَفُوْا.
Makna yang ditunjukkan oleh ayat ini sudah jelas, bahwa Nabi SAW menjelaskan pada apa-apa yang mereka selisihkan, dan bukan kepada apa-apa yang tidak diperselisihkan. Kembali lagi ke pembahasan yang tadi, bahwa sebaik-baiknya metode menafsirkan Al-Qur’an adalah dengan Al-Qur’an itu sendiri.
Ayat ini datang sebagai takhsis bagi ayat yang yang umum tersebut. Kemudian beliau juga menyebutkan, “Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa para Sahabat, yaitu berbahasa Arab. Hal ini tentunya memudahkan Sahabat dalam memahami makna Al-Qur’an, karena sangat banyak sekali ayat yang bentuknya mantuq atau sudah jelas.”