Isu persoalan lingkungan menjadi salah satu tantangan global yang terus diperbincangkan dan menjadi perdebatan. Hal ini dilihat dari peristiwa di sekitar, seperti pemanasan global, deforestasi, pencemaran laut, hingga kepunahan spesies yang terus berlangsung hingga saat ini. Para pakar lingkungan terus menggali faktor penyebab terjadinya kerusakan tersebut.
Dari beragamnya penyebab seperti perubahan iklim, dugaan akar permasalahan krisis lingkungan juga disinyalir dari mengakarnya pemahaman filsafat Antroposentrisme pada jiwa manusia. Mengutip pandangan dari tokoh ilmuwan terkemuka Resmussen, terminologi Antroposentrisme ialah teori etika lingkungan yang memandang pusat alam semesta adalah manusia. Konsekuensinya, kepentingan manusia adalah yang paling menentukan dalam pengambilan kebijakan, baik berkaitan dengan alam langsung maupun tidak.

Lebih lanjut, menurut Mujiono Abdillah, paham antroposentrisme ditandai oleh melonjaknya kesadaran akan rasa percaya diri manusia untuk kuasa atas sumber daya alam dan lingukungan. Untuk itu eksistensi alam sebagai pelengkap dibumi diperbolehkan untuk dieksploitasi demi kesejahteraan manusia.
Selain itu, paradigma paham Antroposentrisme disebut bukan hanya berakar dari filsafat ilmu, akan tetapi juga terdeteksi dari kajian keagamaan, termasuk agama Islam yang dituduh mengembangkan ajaran tersebut.
Antroposentrisme dalam dimensi kajian Islam diduga bersumber dari prinsip dasar Islam yang berkaitan dengan konsep hakikat manusia sebagai makhluk istimewa (super being), sebagaimna hal ini dimotori atas dasar dalil “khalifah fil ardh”.
Hal tersebut ditinjau dari konsep maqaşid as-syari’ah Syatibi dalam karyanya “al-Muwafaqat și Usul al-Syariah ” yang diakui sarat dengan filsafat antroposentrisme. Menurut Syatibi, Allah menetapkan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Pandangan antroposentrisme tersebut nampak sekali pada al-darüriyat al-khamsah: menjaga agama, akal, harta, jiwa, dan kehormatan. Disebut sarat antroposentrisme karena dimensi dari aspek kelima hal tersebut hanya berfokus pada orientasi manusia, sementara kajian maslahat lingkungan tidak melingkupinya.
Salah Kaprah “Khalifah fil Ardh”
Adapun, ayat Al-Qur’an yang dirujuk mengandung nilai dan paham Antroposentrisme ialah surat Al Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'”
Dalam memaknai ayat d/tersebut tidak bisa diartikan secara literal, walaupun implikasi ayat tersebut menyatakan bahwa manusialah yang membuat kerusakan di bumi. Maka dalam menafsirkan secara teologis butuh pendekatan tanasubu al ayat dan maudu’i. Hal ini bertujuan untuk menemukan makna maqasid Tuhan terkait pesan pesan ekologis.
Dalam menafsirkan makna ‘khalifah”, Ibnu Ishaq sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab At Thabari, mengungkapkan bahwa,
ابن إسحاق: إني جاعل في الأرض خليفة يقول: ساكنا وعامرا يسكنها ويعمرها خلقا ليس منكم.
Artinya: Manusia berperan sebagai penduduk, pembangun bumi yang sebelumnya dihuni oleh iblis, lalu dibinasakan oleh malaikat dan digantikan dengan Adam. Dengan demikian jelas manusia sebagai khalifah bukanlah penguasa bumi, melainkan penerus yang secara fungsional untuk memelihara dan memakmurkan bumi ini.
Selain itu, ayat tersebut juga memiliki munasabah atau relasi dengan ayat lain, salah satunya keterbatasan kesempurnaan manusia yang ditegaskan Allah dalam surat Al Isra’ ayat 37-38:
{وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا (37) كُلُّ ذَلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا (38)
Artinya: Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi, dari sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua kejahatannya itu adalah amat dibenci di sisi Tuhanmu.
Dalam memahami ayat tersebut dengan, Al Qurtubi yang menjelaskan,
إِنَّكَ لَن تَخْرِفَ الأَرْضَ يعني لن تتولج باطنها فتعلم ما فيها ولن تبلغ الجبال طولاً ) أي لن تساوي الجبال بطولك ولا تطاولك. ويقال: خرق الثوب أي شقه، وخرق الأرض قطعها . والحرق الواسع من الأرض. أي لن تخرق الأرض بكبرك ومشيك عليها . ولن تبلغ الجبال طولاً) بعظمتك ، أي بقدرتك لا تبلغ هذا المبلغ، بل أنت عبد ذليل، محاط بك من تحتك ومن فوقك، والمحاط محصور ضعيف
فلا يليق بك التكبر، والمراد بخرق الأرض هنا نقبها لا قطعها بالمسافة والله أعلم 30
Ia memposisikan kelemahan manusia di hadapan alam. Bumi dan gunung adalah bagian dari ekosistem yang tidak boleh dieksploitasi sesuai kemauan dan kesenangan manusia. Sebab dieksplorasi sekuat apapun, keduanya tidak akan mampu ditaklukkan oleh manusia.
Dari hasil analisis tersebut, dapat ditegaskan bahwa antara manusia dan alam adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dalam teologi, sejatinya paham Antroposentrisme tidak diajarkan dalam Islam. Justru, sebaliknya, Islam mendorong paham Ekosentrisme yang menempatkan hubungan manusia dan alam secara proposional. Dengan prinsip Ekosentrisme ini, manusia tidak boleh mengeksploitasi alam dengan seenaknya sendiri. Semua harus tetap mengacu pada kelestarian dan hak asasi lingkungan. Perlu diketahui bahwa sebenarnya benih pemahaman antroposentrisme lahir dari orang orang paganistik, sebab dalam paham ini manusia menyakini hanya menusialah yang paling berkuasa.
