Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa di pesantren para santri akan mengkaji berbagai kitab. Biasanya, di pesantren tradisional seperti pesantren saya dahulu, kitab yang digunakan adalah kitab kuning gundul. Sudah menjadi rutinitas sehari-hari bagi santri untuk memaknai kitab tersebut dengan bimbingan para guru.
Berdasarkan pengalaman saya, para santri akan memberikan makna pada kitab dengan menggunakan tulisan Pegon atau Jawi. Yaitu, tulisan Arab namun dibaca menggunakan bahasa Jawa. Ada pula yang menggunakan bahasa Sunda. Tergantung di mana pesantren itu berada dan mayoritas santri yang belajar.
Saya tidak terlalu paham bagaimana sistem belajar di pesantren modern. Apakah masih menggunakan metode memberi makna kitab atau bagaimana. Di kurikulum pesantren saya waktu itu, ada tiga jenis pembelajaran. Pertama, ngaji maknani, ini adalah yang paling utama. Karena proses ini dibimbing langsung oleh satu orang ustaz di setiap satu mata pelajaran atau kitab. Ustaz akan membacakan kitab dan maknanya menggunakan terjemahan atau memanfaatkan hafalannya. Dan para santri akan menyimak dan memberikan makna di bawah kalimat dalam kitab mereka.
Kedua, ngaji setoran. Proses ngaji ini berbentuk hafalan. Jadi, apa yang telah dipelajari pada saat ngaji maknani akan dihafalkan oleh para santri. Namun sebatas dihafal Arabnya saja tanpa makna Jawi-nya. Biasanya pengurus atau santri yang lebih senior akan menyimaknya.
Ketiga, ngaji syawir. Ini adalah jenis ngaji mandiri. Para santri dalam satu kelas akan memilih salah satu orang untuk maju ke depan dan memimpin musyawarah. Topik yang dibahas biasanya sesuai kesepakatan bersama. Dalam sebuah kelas pada umumnya sudah mempunyai satu rois atau musyawir yang akan memimpin musyawarah setiap hari.
Pada tulisan ini, saya akan membahas satu tradisi yang rutin dilaksanakan di pesantren saya. Tradisi ini menjadi syarat ikut ujian akhir semester. Tradisi ini juga akan menjadi tolok ukur seberapa rajin dan disiplinnya santri dalam mengaji. Tradisi tersebut adalah taftisul kutub.
Secara bahasa, taftisul kutub berarti inspeksi buku. Artinya, pada saat taftis, kitab-kitab kuning yang sudah dipelajari oleh santri selama satu semester akan diperiksa. Pemeriksaan dilakukan terhadap pemaknaan kitab. Jadi, setelah satu semester santri mengaji dan memaknai kitab, para ustaz akan memeriksa apakah makna mereka lengkap atau tidak.
Taftisul kutub ini menjadi penanda kerajinan atau kedisiplinan atau kompetensi santri karena setiap satu kalimat dalam kitab tidak boleh luput dari makna. Kecuali, apabila maknanya ma’lum atau sudah mafhum. Seperti kursiyun, tidak perlu diberi makna karena para santri sudah tahu apa artinya. Selain itu, ini akan menjadi ujian tersendiri bagi para santri, karena mereka harus memeriksa kitab masing-masing sebelum menyerahkannya kepada ustaz untuk di-taftis.
Bagi para santri yang rajin, taftisul kutub adalah hal yang biasa saja. Karena kitab mereka pasti penuh dengan coretan maknanya. Mereka tidak khawatir harus remedial dan susah payah menambal makna sebelum adanya inspeksi.
Akan tetapi, bagi santri yang kurang rajin, misal pernah tidak masuk, ketiduran di kelas, atau bahkan bolos, taftisul kutub akan menjadi ancaman dan momok tersendiri. Mereka harus menambal catatan maknanya dengan meminjam kitab teman, atau bersiap harus ikut her atau remedial dengan membayar denda dan ditambah tetap harus melengkapi makna, dan yang paling parah adalah tidak bisa naik kelas.
Biasanya, taftisul kutub dilakukan menjelang ujian semester. Kegiatan ini menjadi rintangan pertama bagi para santri agar bisa naik kelas. Hal ini bukan sekadar memeriksa kemampuan akademis santri, namun juga mengukur seberapa besar kedisiplinan dan kerajinan mereka. Dari taftisul kutub itu akan ditemukan para santri yang selalu hadir dan mengikuti pelajaran dengan baik. Tapi ada juga yang sebaliknya.
Kegiatan taftisul kutub diawali dengan pengumpulan kitab-kitab kuning yang sudah dikaji selama satu semester. Dikumpulkan berdasarkan kepemilikannya. Satu kelas biasanya ada lima mata pelajaran, jadi satu santri mempunyai lima kitab. Setelah itu, kitab akan diperiksa oleh para ustaz satu per satu. Jika ustaz melihat ada kalimat-kalimat yang kosong tidak ada maknanya, beliau akan memanggil si pemilik kitab. Santri pemilik kitab akan ditanyai perihal makna kalimat tersebut atau diminta untuk membaca kitab tersebut apakah benar atau tidak. Jika si santri bisa menjawab maka hal tersebut akan jadi maklum.
Beda halnya jika yang kosong maknanya bukan satu dua kalimat, tapi satu halaman, setengah halaman, atau bahkan setengah kitabnya. Mereka akan dikenakan sanksi berupa dilarang mengikuti ujian. Namun, mereka masih diberi kesempatan untuk ikut remedial atau her. Dengan syarat harus melengkapi kitab tersebut dalam tenggat waktu tertentu. Jika masih tidak bisa, maka santri tersebut tidak bisa ikut ujian atau remedial dan bahkan tidak bisa naik kelas.
Saya punya pengalaman yang cukup pahit ketika tiba tradisi taftisul kutub ini. Sebagai santri ngalong yang kadang tidak bisa hadir karena suatu hal, kitab yang penuh dengan makna sulit untuk diwujudkan. Biasanya, jika ada makna yang tertinggal, saya akan meminjam kitab teman dan menyalin maknanya. Tetapi tulisan yang sangat kecil dan perbedaan penulisan membuat cara itu cukup sulit. Cara lainnya adalah meminta tolong mereka membacanya dan kita menyimak serta menulisnya.
Namun, saya bersyukur karena diberikan kemampuan yang lebih dalam bahasa Arab oleh Allah. Saya menjadi lebih mudah memberikan makna karena kebanyakan kata di dalam kitab tersebut sudah saya pahami.
Saya tidak tahu apakah di pesantren lain ada tradisi ini atau tidak. Di sini saya hanya menceritakan pengalaman saya ketika ngaji di pondok pesantren empat tahun yang lalu. Dari taftisul kutub ini saya dapat menyimpulkan bahwa santri tidak hanya perlu memperdalam spiritual, tetapi juga moral. Sikap disiplin membawa kita kepada kesempurnaan. Ilmu dapat dengan mudah dicari dan dipatkan. Tetapi sikap disiplin, rajin, dan lainnya itu didapat dari kedewasaan, kebiasaan, dan juga usaha yang keras.