Jika senja telah tiba, gadis berparas ayu itu pasti sudah berada di balkon kamarnya yang memang menghadap ke ufuk barat. Diamatinya perlahan cahaya mentari yang mulai tenggelam dalam senja. Walaupun ia tidak bisa melihat secara langsung pancaran emas sang surya, tetapi ia bisa merasakan kehangatannya seperti seorang ibu yang mendekap anaknya.
Ya, Jingga memang lain dari gadis-gadis belia seusianya. Ia mulai berkurang penglihatannya sejak kecelakaan beberapa bulan sebelumnya. Buram sekali penglihatannya. Hampir tak bisa melihat cahaya; apalagi warna.
Tragedi yang menimpa Jingga dan sopir pribadinya saat itu sebenarnya sudah ingin ia lupakan dan melemparnya jauh-jauh. Tetapi, nyatanya bayangan itu selalu muncul di benaknya. Jingga selalu mencoba tegar melalui jalan hidupnya walaupun ia merasa tanpa dukungan penuh dari orang-orang tercinta. Kini ia lebih banyak menyendiri di kamarnya sembari menikmati senja.
“Tok-tok-tok!” terdengar suara pintu kamar Jingga ada yang mengetuk.
“Non, ini makan sorenya sudah Mbok bawakan. Cepat dimakan ya nanti keburu dingin tidak enak,” suara Mbok Minah membuyarkan lamunannya.
“Letakkan saja di situ Mbok, Jingga belum lapar. Mama dan Papa sudah pulang belum?”
“Ibu sama Bapak tadi ada menelepon Mbok. Katanya ada pekerjaan mendadak ke luar kota.”
“Kenapa tidak pulang dulu? Ada pesan buat Jingga?”
“Sepertinya buru-buru sekali jadi tidak bisa pulang. Ibu sama Bapak juga tidak menitip pesan apa-apa.”
Kalimat yang dilontarkan Mbok Minah memang sudah tak asing lagi didengar. Dan Jingga sebenarnya sudah tahu jawabannya. Orang tua Jingga sangat sibuk untuk mempertahankan perusahaan di tengah pandemi seperti ini. Sungguh tidak mudah tahun-tahun ini untuk sekadar bertahan.
“Hallo Jingga?” Mama mengangkat telepon dari Jingga.
“Hallo Ma. Mama di mana?”
“Mama masih sibuk sama rekan kerja yang mau investasi di perusahaan. Mungkin beberapa hari ini Mama-Papa masih di luar kota.”
“Oh gitu. Mama ingat tidak sekarang tanggal berapa?”
“Aduuh Jingga, Mama ini sibuk sekali, mana sempat Mama ingat ini tanggal berapa. Ada apa sebenarnya?” pembicaraan itu pun terputus.
Mendengar jawaban sang Mamah, hati Jingga serasa disayat-sayat. Seperti ada tembakan meriam yang tepat di jantung hatinya. Air mata pun ikut mengalir bersamaan dengan perasaannya saat itu.
“Sekarang tanggal 1 Agustus, tepat 17 tahun yang lalu Mama berjuang melalui operasi cesar. Mama-Papa bahagia Jingga terlahir ke dunia setelah menunggu hampir tujuh tahun lamanya. Mama masih ingat?” ucap Jingga lirih.
“Oh sekarang hari ulang tahunmu? Ya, sudah kamu mau hadiah apa nanti Mama belikan.”
“Jingga tidak butuh hadiah apa-apa. Jingga butuh doa dan kasih sayang dari Mama dan Papa.”
“Apaan sih kamu Jingga, jangan lebai gitu Mama tidak suka. Kamu juga sudah 17 tahun dan sudah ada Mbok Minah yang tiap hari menemani,” tiba-tiba Mama menutup pembicaraannya.
Jingga mencoba keluar menghampiri senja sore itu. Hati dan pikirannya sudah tidak karuan. Tak terasa air mata pun mengalir dari pelupuk matanya. Tanpa suara. Dari arah belakang, tetiba Mbok Minah menyalakan radio tape di kamarnya; lantunan ayat-ayat suci terus terdengar.
“Mbok, suara itu bikin Jingga pusing!” celetuk Jingga.
“Mbok hanya ingin Jingga lebih tenang. Mendengarkan ayat suci Al-Quran, apalagi melantunkannya, akan membawamu lebih nyaman, banyak bersyukur, dan dekat dengan Allah.”
“Semua berantakan Mbok. Hidupku berantakan. Mama-Papa, teman-teman, dan semuanya menjauhiku. Tinggal Mbok Minah saja sekarang.”
“Bisa jadi Allah lebih sayang kamu untuk punya waktu merenungkan masa lalu,” nasihat Mbok Minah sembari keluar kamar.
Surat Al-Mulk masih bergema di kamarnya. Jingga mulai merenungi masa lalunya; tak terasa mulai keluar lagi bulir-bulir air mata. Jingga teringat kata-kata kasarnya pada Papa-Mamanya saat tidak dibelikan HP terbaru atau tidak mengucapkan kata terima kasih saat Papanya membelikan tas yang kurang diminati sesampai pulang tugas luar kota. Jingga juga mulai teringat kelakuan buruknya di sekolah: tidak menghormati guru, hanya mau bergaul pada teman-teman yang kaya, bolos pelajaran, atau malah keluyuran ke mall bersama genknya saat jam les tiba.
“Aku ingin berubah. Aku harus berubah,” batinnya sembari mengecilkan suara tapenya saat mendengar azan maghrib berkumandang.
“Jingga, ayo kita salat dulu!” ajak Mbok Minah.
“Ajari aku ya, Mbok. Jingga ingin diajari salat dan mengaji.”
“Alhamdulillah. Mbok terharu sekali.”
Hari-hari berikutnya seperti itulah rutinitas yang dilakukan Jingga bersama Mbok Minah. Jingga yang sewaktu SD dulu sudah bisa membaca Al-Quran seolah membuka file-file lama tentang bacaannya. Pelan-pelan ia mulai bisa menirukan bacaan yang disuarakan Mbok Minah.
“Mbok Minah ternyata pandai mengaji juga,” puji Jingga.
“Jelek-jelek gini Mbok juga pernah sekolah. Sampai PGA 4 tahun. Terus langsung dinikahkan oleh orang tua Mbok,” jawab Mbok Minah sembari tersipu.
“Tapi suara dan bacaan Mbok bagus.”
“Alhamdulillah. Dulu juga sempat di pesantren.”
“Bagaimana ya Mbok hidup di pesantren? Kalau seperti Jingga apa bisa masuk pesantren?”
“Kenapa Non Jingga tiba-tiba bertanya seperti itu?”
“Jingga ingin banyak belajar agama.”
“Kalau sudah sembuh dan diizinkan Papa-Mama, Non Jingga saya ajak ke sana! Yang penting harus sembuh dulu.”
Diputarnya kini Surat Ar-Rahman. Perlahan ia mulai tersadar harus mengakhiri catatan buram masa lalu. Jingga benar-benar terlahir kembali.
Sosok Mbok Minah yang sederhana justru semakin dipatuhinya. Padahal, dulu Jingga hanya menganggap Mbok Minah adalah sosok pembantu yang tidak perlu dihormati dan justru pembantu itu yang harus hormat. Bisa jadi ini semua jalan dari Allah agar ia menjadi manusia yang lebih baik lagi.
***
Tak terasa, sudah hari ketiga Papa-Mamanya belum pulang ke rumah. Di sela-sela istirahatnya, Jingga selalu memutar bacaan ayat-ayat suci. Bibirnya mulai perlahan menirukan bacaan-bacaan itu. Salat fardlu pun selalu dikerjakannya secara berjamaah bersama Mbok Minah. Jingga pun mulai menutup auratnya.
“Jingga, apa kabar Nak?” demikian kalimat pertama Mama melalui HP.
“Ucapkan Assalamualaikum dulu Ma untukmengawali pembicaraan. Jingga baik-baik saja, Ma. Semoga Mama Papa juga baik-baik saja di sana,” jawab Jingga.
“Jingga, Mama-Papa menunggumu sekarang ya di rumah sakit. Sudah ada ambulance yang akan menjemputmu,”suara Mama terlihat dalam kepanikan.
Mbok Minah mengetuk pintu kamarnya. Petugas kesehatan sudah tiba di rumahnya. Jingga mulai bingung dengan semua ini.
“Ada apa? Jingga bukan pasien Corona, kan?” tanya Jingga.
“Jingga ikuti saja ya. Ini demi kebaikan Non Jingga,” ucapan Mbok Minah meyakinkan.
Dengan ambulance, Jingga dibawa menuju rumah sakit. Ia langsung dibawa masuk ruangan. Tak nampak Papa-Mama mengikuti. Hanya Mbok Minah yang terus melafalkan doa dan berada di belakangnya. Jingga semakin bingung; tapi ia mulai pasrah dan yakin semua akan baik-baik saja.
Jingga langsung masuk ke kamar operasi. Kali ini ia tampak sendiri; karena hanya diikuti oleh beberapa perawat yang telah berpakaian lengkap. Jingga disuruh memejamkan mata. Dan ia pun menurutinya. Gelap sekali menyelimuti. Entah berapa lama, Jingga tertahan di ruangan itu.
“Alhamdulillah Ya Robbi. Jingga sudah bisa melihat lagi,” kalimat yang Jingga ucapkan kala membuka matanya.
Tampak di sebelahnya sudah ada Mama, Papa, dan Mbok Minah. Jingga merasa aneh dengan semuanya. Beberapa perawat yang masih berpakaian operasi lengkap masih setia di ruangan itu.
“Jingga sudah bisa melihat lagi Ma, Pa! Jingga sudah sembuh!” kata Jingga lagi dengan binar matanya.
Mama memeluk Jingga dengan eratnya. Pelukan yang sudah lama tidak dilakukan keduanya. Jingga merasa terlahir seperti bayi. Bisa jadi seperti 17 tahun yang lalu.
“Syukurlah kamu kembali seperti semula,” kata Papa.
“Mengapa aku harus di tempat seperti ini? Ada apa dengan semua ini? Mengapa tidak di rumah kita saja?” tanya Jingga yang masih belum paham kejadian ini.
Dengan berlinang air mata, Mama menceritakan semuanya. Bagaimana Mama-Papa juga begitu terpukul melihat Jingga kabur penglihatannya karena kecelakaan. Akhirnya, keduanya terus mencari pendonor mata yang sesuai. Semua yayasan, keluarga, kolega, dan kenalan dihubunginya. Dan akhirnya semua terjawab sudah seperti hari ini.
“Jadi ini hadiah Papa-Mama di hari ulang tahun Jingga? Terima kasih untuk semuanya!”
Ketiganya pun berpelukan. Mbok Minah yang sedari tadi terdiam, kini pun melinangkan air mata. Diusapnya berkali-kali dengan jemarinya yang sudah penuh kerutan dan kapalan. Jingga pun tak membiarkan Mbok Minah yang seolah menjelma menjadi malaikat dalam hidupnya. Dipeluknya pula Mbok Minah dengan eratnya.
“Terima kasih Papa, Mama, dan Mbok Minah. Jingga boleh minta sesuatu sama Mama-Papa?” tanya Jingga.
“Apa Nak? Semua akan Mama-Papa usahakan untuk kebahagiaan Jingga,” jawab Mama.
“Jingga ingin menuntut ilmu di pesantren.”
Dari jendela rumah sakit itu nampak petang mulai membayang. Caya mentari mulai menghilang. Hening; alpa lagi suara di ruangan itu. Meski saat itu senja sedang cantik-cantiknya dengan siluetnya.