Tarawih di Musala Tua

17 views

Sambil sedikit berlari, Sudir menuju musala. Ia sendirian. Melepas sandalnya lalu mengikuti jamaah salat Isya. Setelah salam, ia menyodorkan tangan kanannya pada orang di sebelah kanannya, lalu kirinya. Dan kedua orang yang ia ajak bersalaman itu pula mengulurkan tangan, tapi diam dan datar, tak berekspresi.

Sebentar kemudian, ia melaksanakan salat tarawih bersama para jemaah itu. Tapi, ada yang mengganjal pada batin Sudir, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari para jemaah itu. Keanehan lain, semua jemaah mengenakan jubah putih, berpeci putih. Tetapi, mata Sudir berjibaku pada imam salat. Sebab, hanya dia seorang yang mengenakan jubah berwarna hijau, bersorban warna-warni, dan ber-imamah hijau melingkar di kepala. Balutan kain hijau itu terlihat sangat rapi, ada bagian kain sedikit yang dibiarkan menjuntai di belakang. Selalu, mata Sudir tertuju pada seorang itu selama tarawih. Ia heran, menyisakan kejanggalan dalam batinnya. Semakin lama, semakin heran.

Advertisements

“Assalamualaikum warahmatullah… Assalamualaikum warahmatullah…,” Imam itu menolehkan wajahnya ke kanan dan kiri. Sontak dengan sangat kompak para jemaah itu mengikutinya.

***

Seperti dua puluh malam sebelumnya, teman-teman Sudir sudah berkumpul di pos ronda malam itu. Ahsan, Hasan, Muhsin, dan lain-lain, telah membawa Fathul Muin untuk mereka diskusikan. Mereka semua adalah alumni dari beberapa pesantren. Ahsan alumni Pesantren Nur Muhammad, Hasan alumni Pesantren Subulunnajah, Muhsin alumni Pesantren Riyadhoh al-Badi’ah, sedangkan peserta yang lain adalah para remaja desa Kauman yang ingin belajar kitab kuning.

Saat itu pukul 21.00 WIB. Jam segitu, biasanya Sudir sudah di sana membawa beberapa cemilan. Ia memang contoh pemuda yang baik. Tetapi tidak dengan malam ini. Hal itu membuat mereka yang berkumpul di sana bertanya-tanya.

“Sudir mana, San?” celetuk Ahsan pada Hasan. Peci hitamnya miring ke kanan. Itu adalah ciri khasnya sejak ia pulang dari Pesantren Nur Muhammad.

“Di mana, Nir?” Hasan melempar pertanyaan itu pada Munir yang sudah duduk bersama beberapa remaja lainnya di pos ronda. Mengapa Munir? Sebab Munir adalah tetangga Sudir, rumahnya persis bersebelahan dengan rumah Sudir.

Salah seorang yang duduk di dekat Munir menepuk pahanya sebab ia tak dengar, fokus pada bacaan kitab.

“Tadi aku lihat Kang Sudir berangkat tarawih, kok. Mungkin belum usai tarawihnya, imamnya lama mungkin,” selorohnya. Ia masih fokus pada bacaan kitabnya.

Lima belas menit berlalu, Hasan menelepon Sudir, tetapi hanya ‘memanggil’. Mereka kemudian melanjutkan kesibukan masing-masing. Agak lama, suara nyaring jangkrik semakin terdengar, dan waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Itu berarti, mereka telah menunggu Sudir satu jam yang lalu. Hasan menelepon Sudir lagi, tetapi Sudir masih belum bisa dihubungi. Ia kemudian meminta Muhsin memulai musyawarah kitab. Dan musyawarah itu dimulai.

***

Sudir merasa, dia baru melakukan salat dua rakaat, tetapi semua yang ada dalam musala itu telah mewiridkan “Subhana al-Malikil Al-Kudus..” Dan Sudir pun terheran-heran. Ia mengamati seluruh jemaah dalam musala itu. Mereka semua khusuk menghadapkan wajah pada tempat sujud.

Tiba-tiba, Sudir sangat mengantuk. Ia mendongakkan wajahnya ke atas. Sudir sangat kaget. Persis pada wajahnya ditikam cahaya yang sangat cepat. Peristiwa itu menyebabkan ia tak sadarkan diri. Hanya gelap yang dirasakan Sudir. Tak tahu apa yang ia rasakan. Seperti ketika kita tertidur, tak punya kendali. Begitu lemahnya kita saat tidur, bangun-tidaknya adalah kehendak-Nya, bukan kekuasaan kita lagi. Begitu juga Sudir malam itu.

***

Setelah musyarawah, mereka begadang. Sahur bersama-sama di pos itu, salat Subuh berjamaah, baru kemudian pulang.

“Sudir paling ketiduran di rumah, Nir,” ucap Ahsan pada Munir.

“Mungkin, San. Tapi aku tahu dia tadi berangkat jamaah Isya, kok.”

“Lha kok aneh. Masak ketiduran di musala? Tapi tadi pas kita tarawih, ga ada dia kelihatan, kan?”

“Iya, mungkin nggak tarawih di musala, San. Besok juga ketemu,” pungkas Munir kemudian menghampiri masakan yang ia bawa dari rumah untuk sahur bersama. Mereka, secara bergantian, membawa makanan untuk sahur ke pos ronda saat musyawarah.

Tak berselang lama dari mereka sahur, azan Subuh bertali dari masjid. Mereka kemudian bergegas ke masjid. Setelah jamaah Subuh, mereka akan pulang ke rumah sendiri-sendiri. Begitulah memang kegiatan mereka saat bulan Ramadan.

Munir yang biasanya pulang bersama Sudir, kali ini tidak. Ia seorang diri. Dari malam tadi, sebenarnya ada kejanggalan yang ia rasakan dalam batinnya. Sepertinya Sudir masih belum di rumah; apa yang terjadi dengan teman musyawarahnya itu, pikirnya.

Tak jauh dari rumahnya, ia melihat sesuatu tidak biasa ia temui. Dari musala tua yang sudah dua tahun terbengkalai nampak cahaya. Ia agak merinding melihatnya. Musala itu kosong semenjak dua tahun lalu karena Mbah Sodikin meninggal. Ia adalah seorang yang dikeramatkan oleh banyak orang di kampung sini. Dan memang begitu adanya; ia adalah seorang yang sangat istikamah.

Munir mengamati musala itu lekat-lekat. Betapa terkejutnya karena di dalam musala itu ia melihat Sudir sedang melakukan salat.

“Dirr, Sudirrr…” teriaknya pada sahabatnya.

“Dirr, Sudir…” Ia mengulangnya berkali-kali. Tetapi Sudir tak mendengarnya, sebab ia khusuk dalam salat.

Pada akhirnya ia menghampiri Sudir. Ia tunggu sahabatnya itu sampai selesai salat. Tetapi, sampai matahari terbit, Sudir belum juga selesai salat. Ia kemudian memberanikan diri menghampiri Sudir. Dan Sudir pun tergeletak begitu saja di pangkuannya.

“Kau ngapain di sini, Dir?”

“Barusan salat tarawih, Nir. Ini mau ke pos untuk musyawarah,” katanya.

“Musyarawah apa? Bangun, woi, ini sudah pagi.”

Sumber ilustrasi: Indonesian visual art archive.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan