“Du, Badu…!”
“Iya Mi?”
“Lihat tasbih Umi nggak?”
“Lah, bukannya di cantolan kamar.”
“Itu kan yang biasa. Yang elektronik itu loh. Yang kecil.”
Badu tak tahu menahu soal letak tasbih itu. Bentuknya memang cukup kecil, dan berwarna gelap. Sengaja dipilih warna itu agar tak terlalu mencuri perhatian. Umi tak mau bila dia disangka orang alim karena ke mana-mana membawa tasbih. Meskipun, di sisi lain hatinya, dia juga tak peduli apa kata orang. Karena, menurutnya, bila ibadah ikut apa kata orang, tak akan ada habisnya. Cukup meyakini apa yang telah dipelajari. Lalu mengamalkannya.
Siang itu si Badu tak tenang. PR fisikanya mangkrak di atas meja belajar. Ps3 yang sedang diputar untuk mengusir kejenuhannya tetap pada tombol pause. Melihat Umi-nya mondar mandir gelisah, ia tak tega. Terlebih mentari sudah hampir berubah mega. Tapi tanpa tasbih itu, ashar yang dilaksanakan tak akan setenang biasanya. Pikirannya akan melayang menuju setiap sela kecil di antara perabotan, di seluruh penjuru griya mereka.
Umi memang pelupa. Sudah berapa kali tasbih lamanya, yang model biasa, hilang entak ke mana. Tapi Umi tak mau ambil pusing. Dia lantas membeli yang baru. Berbeda dengan yang satu ini. Pernah sekali dia terlupa, hingga malam lantas mencarinya. Bahkan, Badu yang tak salah apa-apa terkena omelannya. Padahal, pemuda bau kencur itu menonton acara kesukaannya di tv, sembari tak henti mengunyah cemilan.
“Kamu tuh Du, kalo orang lagi kesusahan coba bantulah.”
“Udah Mi,” jawabnya singkat.
“Bantu apa!? Kamu cuma ngunyah makanan sambil nonton debat politik.”
“Bantu doa,” canda Badu.
Umi yang geram lantas melangkahkan kaki. Mencubit pipi anaknya itu dengan gemas. Tapi sekarang berbeda. Umi-nya tak marah, tapi hanya menekuk muka sembari terus mencari di setiap sudut rumah. Tak tega dengan peluh Umi yang mula bercucuran. Juga bau kecutnya yang tak tertahan. Karena belum mandi setelah beres-beres rumah dan juga mencari tasbih elektronik tadi. Badu seakan lupa dengan keasyikan PS dan keruwetan PR fisikanya.