Mungkinkah menjadikan tauhid sebagai praksis dalam keseharian? Mungkin. Maka, kita harus mengeluarkan konsep tauhid dari ruang teologis, dan menjalarkannya ke ranah praksis, dalam alam kehidupan sehari-hari.
Mudah, bukan? Yang membuatnya sulit adalah, mungkin, cara berpikir kita, keberimanan kita, kejiwaan kita, atau konstruksi kepribadian kita.
Mari kita berandai-andai dengan banyak contoh di sekitar kita. Banyak orang putus asa, merasa hidup tak berguna, dan rela mati dengan cara bunuh diri hanya karena cinta. Kepada kekasihnya, orang seperti ini akan selalu bilang begini: “aku tak bisa hidup tanpamu!” Itu bukan perwujudan cinta sejati, melainkan ekspresi kerapuhan kepribadian dari jiwa-jiwa yang labil.
Contoh lain mungkin adalah kita sendiri, atau tetangga kita, atau teman kita, yang doyan menyanjung orang-orang yang lebih berkelas, namun di saat yang sama suka memandang remeh dan menganggap rendah para kroco. Inilah jiwa-jiwa yang silau pada yang kemilau, sinis pada yang najis.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat orang yang selalu bergantung, atau menggantungkan diri, pada orang lain. Hendak melakukan sesuatu, selalu menunggu orang lain melakukannya lebih dulu. Pada tingkatan paling ekstrem, memasrahkan nasibnya, hidup-matinya, kepada orang lain. Ia tak bisa berbuat apa-apa tanpa sokongan orang lain. Benar-benar tak bisa hidup tanpa peran orang lain. Inilah pribadi yang selalu menjadikan orang lain sebagai faktor dalam hidup.
Itu sekadar contoh-contoh praksis keseharian yang jauh dari tujuan untuk apa sebenarnya kita meng-Esa-kan Tuhan. Dalam ilmu kalam atau teologi Islam, sejak dini kita diajarkan tentang sifat wajib Tuhan: bahwa Allah itu esa, tunggal, wahdaniyah. Tidak ada persamaannya. Tidak ada penyerupaannya. Menduakan, atau menyekutukan, adalah syirik dan dosa besar.
Tapi pada tataran teologis itu, tauhid, atau peng-Esa-an Tuhan, berhenti sebagai konsep yang abstrak. Maka, “proses pembuktian” akan ke-Esa-an Tuhan melalui apa yang kita ketahui sebagai tasawuf, jalan sufi, tarekat. Dan dari situ pula kita mengenal frasa-frasa yang mengisyaratkan adanya bukti hakikat Tuhan dengan segala sifat wajib-Nya, terutama sebagai yang Esa, yang Tunggal.
“Siapa mengenal diri, Maka mengenal Tuhan.”
“Bagi wali-wali Allah, tak ada rasa takut dan sedih.”
“Allah seperti prasangka hamba-Nya.”
Itulah beberapa frasa yang kita kenal dari dunia tasawuf, atau tarekat, atau lingkungan sufi yang berpuncak pada wahdatul wujud. Dari Al Hallaj kita mengenal frasa Ana al-Haq, Akulah Kebenaran, Akulah Tuhan. Atau, dari Syekh Siti Jenar kita mengenal frasa manunggaling kawula-gusti, menyatunya khalik dengan makhluk: “Tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada Allah.”
Frasa-frasa yang bersumber dari dunia tasawuf, atau tarekat, atau lingkungan sufi itu mengisyaratkan bahwa pendalaman akan ketauhidan Tuhan justru akan membentuk seseorang sebagai pribadi yang utuh, yang merdeka. Begitulah sosok para sufi, wali-wali Allah, kekasih-kasih Allah yang kita kenal selama ini. Mereka tak pernah dihantui rasa takut dan sedih. Mereka tak pernah menggantungkan hidup pada apa pun jua. Cukup Allah yang Esa sebagai pelindungnya.
Lalu bagaimana kita yang tak bergelut dengan dunia tasawuf, menjalani tarekat, menjadi sufi? Haruskah kita menempuh jalan yang sama?
Tak semua orang bisa menempuh jalan itu, memang. Atau berkesempatan melaluinya. Tapi kita bisa meminjam hasilnya dan menjadikannya sebagai model praksis. Kata kuncinya adalah faktor. Itulah salah satu yang bisa diandaikaan dari puncak proses peng-Esa-an Tuhan: meniadakan yang lain. Artinya: jangan pernah menjadikan yang lain sebagai faktor dalam hidupmu. Cukup dirimu yang menjadi penentu dalam hidupmu. Itulah yang terjadi, misalnya, ketika frasa Ana al-Haq terucap dari bibir Al Hallaj. Bukan ia mengaku sebagai Tuhan, tapi karena ia telah mampu meniadakan yang lain, dan hanya Tuhan yang ada di dalam keseluruhan dirinya.
Dalam praktis keseharian, hal itu akan terlihat seperti ini: kita tak akan pernah menganggap orang lain, atau yang lain, sebagai faktor yang menentukan hidup kita. Semuanya akan bergantung pada keputusan dan tindakan kita sendiri. Seperti para sufi, maka orang tak lagi dihantui ketakutan, was-was, dan kesedihan karena telah berhasil meniadakan yang lain sebagai faktor dalam hidup.
Dengan begitu, misalnya, maka tak ada lagi ungkapan “aku tak bisa hidup tanpamu,” atau bergantung pada orang lain, atau menyanjung orang yang kita anggap lebih berkelas dan meremehkan atau bahkan menista yang lebih kroco dari kita. Semua akan diperlakukan sama hormatnya sebagai makhluk Tuhan.
Dari beberapa hikmah sufis kita tahu, ada orang-orang yang tampak biasa-biasa saja, menjalani hidup seperti orang-orang pada umumnya, tidak tampak sebagai orang yang lebih ahli ibadah dari kita, bahkan secara kasat mata terlihat lebih kroco dari kita, dan kita kaget ketika bertahun-tahun kemudian ia memperoleh penghormatan sebagai kekasih Allah. Kita tak pernah tahu ada orang-orang bertauhid dalam keseharian di sekitar kita. Dan jangan tersinggung jika kita tidak dijadikan faktor dalam hidup mereka. Sebab, tauhid memang menegasikan yang lain sebagai faktor.