Teknologi dan Masyarakat Anomie

4 views

Beberapa waktu lalu, media sosial ramai oleh pemberitaan musibah yang menimpa artis/selebriti. Beragam media tak ingin tertinggal dalam menyuguhkan ihwal terkini keluarga korban. Tak heran, kabar tersebut menjadi topik trending hampir dalam waktu sepekan. Rupanya hal ini menjadi kesempatan bagi para content creator untuk turut mendulang keuntungan melalui konten berita dari peristiwa yang terjadi.

Ironisnya, ada beberapa content creator justru menyajikan berita tentang pemanggilan arwah mendiang selebriti tersebut. Hal ini memicu protes para pengguna media sosial, sebab dinilai tidak berempati dan menghargai keluarga korban. Tak hanya itu, berbagai konten video dengan visualisasi foto korban di TKP tersebar luas ikut meramaikan dunia maya dalam kurun waktu singkat.

Advertisements

Di sisi lain, pihak-pihak yang membantu keluarga korban melalui laman instagramnya justru mendapat tuduhan atas kesempatan panjat sosial. Media sosial tak hanya ramai atas berita musibah tersebut, namun juga penuh dengan komentar positif dan negatif dari banyak pihak. Seolah-olah duka menjadi tontonan dan perdebatan yang tak boleh terlewatkan.

Kecanggihan teknologi memang memudahkan kita untuk mengakses berita dari banyak linimasa. Kita digempur beragam informasi paling aktual tiada henti. Lambat laun hal ini memengaruhi perilaku kita, mengikis hati nurani sebagai manusia yang seharusnya berempati pada sesama. Alih-alih memahami apa yang dirasakan orang lain, banyak orang justru mengutamakan keuntungan bagi diri sendiri yang tidak dibenarkan sama sekali.

Teknologi telah mengalihkan segala kebutuhan kita dalam sekejap. Bayangkan, tak perlu bersusah payah bekerja jika sekali isapan jempol konten yang kita publikasikan bisa menambah jumlah rekening. Atau tak perlu pergi ke ibu kota untuk jadi terkenal, jika dalam genggaman gawai saja bisa mengangkat status seseorang. Teknologi tak hanya menjadi hiburan semata, melainkan juga pusat menghasilkan pundi-pundi uang.

Tampaknya kemudahan tersebut membuat manusia lupa akan sopan santun dan etika. Hal ini terjadi akibat terkikisnya self awarness atas riuhnya informasi yang beredar. Hingga kita luput mengolah isi konsep, unek-unek yang hendak kita sampaikan. Asalkan menarik, mendapat ribuan like dan penonton adalah visi yang tak boleh terlewatkan. Tanpa peduli bagaimana perasaan para pihak terkait dengan kejadian yang menimpa keluarganya.

Cerita di atas hanyalah satu dari sekian ribu peristiwa yang tak asing lagi di zaman sekarang. Kabar-kabar serupa tanpa henti melintas di layar HP setiap waktu. Tanpa beban, kita menyaksikan video dan foto kecelakaan bahkan ada yang ikut menyebarkan konten serupa. Kecanggihan ponsel pintar rupanya tak hanya melenyapkan sisi nurani manusia, namun juga merampas fungsi otak kita.

Teknologi menawarkan segala kemudahan yang kita butuhkan. Kita tak perlu repot-repot mengingat penjelasan seseorang, jika sudah tersedia alat perekam canggih. Atau daripada susah payah menghitung matematika lebih baik menggunakan jepretan ponsel. Kita telah melupakan aset berharga manusia sebagai Homo Sapiens. Mengutip kata John Havens “Risiko terbesar kecerdasan teknologi yang dihadapi siapa pun adalah hilangnya kemampuan berpikir untuk diri sendiri. Kami sudah melihat orang lupa cara membaca peta, mereka melupakan keterampilan lain. Jika kita kehilangan kemampuan untuk berintrospeksi, kita telah kehilangan kompetensi sebagai manusia dan kebingungan akannya.”

Fenomena ini mengakibatkan hilangnya pegangan dan nilai hidup dalam masyarakat, atau disebut anomie. Manusia menjadi gelagapan sekaligus kebingungan dan merasa teralienasi dari lingkungan hidupnya sendiri. Seringkali muncul perasaan tidak puas karena kehilangan kontrol terhadap situasi dan menjadi pesimis karena berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Tak ingin menjadi kaum tertinggal, kita pun sibuk dengan gempuran informasi setiap harinya. Tak hanya itu, kita kerap membandingkan hidup dengan riuh mewah kehidupan orang lain di laman medsos. Tanpa sadar, efek negatif teknologi yang melebihi dampak positifnya telah merampas separuh kemanusiaan kita.

Hal ini juga turut disampaikan Yoval Noah Harari dalam wawancaranya bersama salah satu media. Ia mengatakan bahwa virus Corona bukanlah ancaman terbesar yang kita hadapi. Umat manusia memiliki pengetahuan ilmiah dan teknologi untuk mengatasi virus. Namun, masalah terbesar adalah nurani, kebencian, keserakahan, dan ketidaktahuan manusia sendiri. Bisa jadi krisis yang terjadi saat pandemi ini, orang-orang justru saling menyalahkan antara satu dengan yang lain, menyalahkan etnis dengan agama minoritas.

Meskipun tak dapat menghindari laju teknologi, setidaknya kita bisa mulai melatih kesadaran diri. Menggunakan medsos atau produk teknologi sesuai dengan batas keperluan dan kewajaran, tanpa mengabaikan toleransi pada sekitar. Dan tentunya peristiwa yang tersebar di medsos dapat menjadi momentum perenungan dan introspeksi diri untuk terus melatih kepekaan nurani dan fungsi akal serta tak henti berkarya seperti kata filsuf Perancis Decartes: Cogito ergo sum (Saya berpikir, maka saya ada).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan