Sebagai makhluk yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki makhluk-makhluk lainnya, manusia dengan kemampuan yang unik di setiap periode sejarah terus-menerus melahirkan berbagai inovasi.
Dalam perjalanannya, waktu demi waktu terlewati, dan seiring tumbuhnya kapasitas pengetahuan, peradaban manusia pun semakin berkembang. Namun dari sekian banyak revolusi yang diupayakan makhluk primate ini, revolusi yang paling signifikan – yang membawa perubahan besar bagi masyarakat, baik dalam modus produksi, interaksi, komunikasi, dan lain-lain – adalah revolusi industri.

Dalam setiap tahap perkembangannya, revolusi industri menunjukkan potensi untuk mendorong transformasi besar-besaran, terutama di era revolusi industri 4.0.
Revolusi industri 4.0 sering disebut sebagai revolusi teknologi berbasis sistem fisik-siber. Perkembangan dan kemajuan teknologi di era ini merupakan peristiwa besar yang patut kita perhatikan. Berbagai aktivitas menjadi serba mudah, instan, dan tanpa batas sehingga meringankan manusia dalam hampir semua aspek kehidupannya.
Teknologi canggih pada saat ini tidak hanya menjadi sarana, bahkan juga telah menjadi fondasi dalam menjalankan kehidupan manusia. Hal ini tentu membawa dampak positif, namun tidak dapat disangkal bahwa juga terdapat dampak negatif yang memerlukan pengawasan dan perhatian yang serius.
Seiring dengan kemajuan yang dicapai, permasalahan yang dihadapi manusia pun menjadi semakin kompleks. Dalam hal ini, seorang psikoanalis Jerman yang juga kerap membahas isu sosial, Erich Fromm, menulis dalam bukunya yang bertajuk Revolusi Harapan, bahwa dalam perkembangan ini, sulit untuk menunjukkan secara tepat posisi kita dalam lintas sejarah perkembangan industrialisme. Lebih mudah bagi kita untuk mengatakan di mana kita tidak berada. Kita tidak sedang berada di jalan menuju industri bebas, melainkan bergerak cepat menjauhinya. Kita tidak sedang mengarah ke individualisme yang kian bengkak, tetapi sedang menjadi peradaban yang semakin termanipulasi.
Dari generasi ke generasi, revolusi industri faktanya adalah bahwa tidak hanya tenaga manusia yang digantikan oleh mesin-mesin, namun bahkan pikiran manusia juga telah digantikan oleh pikiran-pikiran mesin.
Karl Marx mengemukakan gagasan bahwa manusia sebagai makhluk yang aktif dan produktif. Bagi Marx, sejarah manusia adalah sejarah semakin berkembangnya manusia dan semakin parahnya alienasi.
Gagasan tersebut diperkuat oleh prinsip dalam sistem produksi modern; pertama, prinsip maksim, bahwa sesuatu seharusnya dilakukan karena hanya secara teknis mungkin dilakukan. Jika memungkinkan untuk menciptakan senjata-senjata nuklir, maka senjata itu akan dibuat, meskipun pada dasarnya dapat menghancurkan kita.
Ketika prinsip tersebut terus dipegang tanpa mempertimbangkan batas etika yang seharusnya, maka dari itu, nilai-nilai lain pun tersingkirkan, dan teknologi dijadikan sebagai tiang penyangga utama dalam menentukan arah etika.
Kedua, prinsip efisiensi dan keluaran maksimal, di mana kebutuhan efisiensi maksimal menjadi pemuas kebutuhan individual minimal. Mesin sosial bekerja secara lebih efisien dan dan dianggap mampu menghasilkan produksi yang berkualitas, namun hanya sebagai alat pemuas individu tertentu – tanpa memberi timbal balik yang setara.
Lewis Mumford, seorang pemikir teknologi dan kebudayaan, memberikan sudut pandang baru melalui gagasannya, yang disebut mega mesin, sebagai cermin fenomena sosial yang lumrah pada saat ini.
Konsep tersebut merupakan sebuah sistem sosial yang terorganisasi dan terhomogenisasi, di mana masyarakat berfungsi seperti mesin, dan manusia sebagai bagian dari sistem itu.
Dalam kerangka mega mesin, manusia direduksi menjadi pelengkap dari mesin itu sendiri – diatur oleh ritme dan turunan-turunannya. Ia mengubah manusia menjadi homo consumer, sebagaimana media sosial atau e-commerce mengubah peran manusia menjadi pasif, yang tujuannya hanya untuk memiliki lebih dan mengonsumsi lebih.
Oleh karena itu, teknologi dan manusia mengacu pada siklus keterikatan kebergantungan dan keterikatan pengaruh, yang tak lain lagi, masyarakat teknektronik pada saat ini mejadikan teknologi sebagai asas dalam kehidupannya.
Manusia, yang dahulu dikenal sebagai spesies yang paling berkuasa, kini perlu kambali memikirkan individualitasnya. Hasil kerja manusia – yaitu produk-produknya – telah menjadi entitas asing yang tidak lagi membutuhkan penciptanya. Bahkan, sesama manusia sebagai makhluk sosial pun perlahan kehilangan sisi humanismenya. Manusia diperbudak oleh hasil ciptaannya sendiri, dan mengalami alienasi – baik dari sesamanya, dari produknya, bahkan dari dirinya sendiri.
Perubahan masyarakat, termasuk dalam modus produksi, interaksi, dan komunikasi, lambat laun menggiring manusia pada perasaan tidak memadai, kegelisahan, dan frustrasi. Ini bisa mengarahkan manusia pada pengabaian dan bahkan permusuhan. Oleh karena itu, ketika manusia telah teralienasi dari dirinya sediri, maka produk kerja pun berubah menjadi objek asing yang mendominasi kehidupannya.
Perubahan-perubahan yang telah disebutkan sebelumnya, secara perlahan telah mereduksi manusia menjadi homo consumer – konsumen yang pasif. Kepasifan ini menjadi suatu ciri khas yang melekat kuat dalam masyarakat industri saat ini. Teknologi dan prinsip produksi menundukkan manusia menjadi makhluk yang hanya menerima, ingin diberi makan, tetapi tidak bergerak, memprakarsai, dan tidak merencanakan kebutuhan itu sebagaimana dahulu.
Gejala ketertarikan masyarakat terhadap hal-hal yang mekanis semata bahkan membuka kemungkinan terciptanya komputer-komputer yang mampu berpikir, merasa, dan berfungsi layaknya manusia.
Kemungkinan itu terasa semakin nyata ketika kita menyaksikan manusia masa kini yang mulai berlagak seperti robot – kehilangan spiritualitas, dan tak lagi peduli terhadap nilai-nilai humanisme sesama.
Dengan demikian, revolusi industri sebagai upaya besar umat manusia yang telah mengubah seluruh struktur kehidupan ini, memang perlu kita kaji kembali. Apa sebenarnya esensi manusia? Apa makna eksistensinya di muka Bumi?
Pada hakikatnya, teknologi bukan untuk menghancurkan kemanusiaan, tapi untuk mengembangkannya.
Sejalan dengan pandangan Marx, manusia seharusnya menegaskan Kembali individualitasnya sebagai makhluk utuh dalam hubungannya dengan dunia – melihat, mendengar, mencium, mengecap, merasakan, berpikir, menginginkan, dan mencintai. Hendaklah menjadi pribadi yang bukan hanya bebas dari, tetapi juga bebas untuk.
Sumber ilustrasi: Kapanlagi plus.