Diskusi terkait daging berbasis sel akhir-akhir ini menjadi viral di lini masa dan laman pemberitaan. Hal ini disebabkan karena daging dengan model ini mengalami proses yang tidak biasa, tidak lazim. Daging yang diperoleh atau diambil dari binatang atau hewan yang masih hidup, kemudian dikembangkan melalui proses tertentu sehingga menjadi besar, tumbuh, berkembang, dan siap untuk dikonsumsi.
Atas telaah dasar pembuatan daging berbasis sel tersebut, yang gencar disuarakan oleh perusahaan start up Amerika Serikat ini, maka kemudian dibahas dalam Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) Tahun 2021 bersama isu-isu kekinian lainnya, seperti hukum perdagangan uang digital (crypto currency), misalnya. Dalam Munas dan Konbes NU yang dilaksanakan pada Minggu, 26 September 2021, NU akhirnya menyatakan bahwa daging berbasis sel ini haram dikonsumsi oleh umat Islam.
Secara telaah fikih, hal kebaruan yang sedemikian akan berbenturan dengan perbedaan pendapat. Tetapi secara umum, berdasarkan amanat kitab-kitab klasik, daging yang diambil dari hewan yang masih hidup (meskipun hewan tersebut halal untuk dikonsumsi), masuk pada kategori maitah (bangkai). Maka daging yang melalui proses sedemikian, dalam Islam, haram hukumnya untuk dimakan.
“Daging hasil pengembangbiakan sel yang diambil dari hewan yang masih hidup, seperti sapi dan ayam, hukumnya najis dan haram dikonsumsi,” demikian bunyi putusan Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyyah dalam Munas dan Konbes NU 2021 yang diterima dari panitia Munas dan Konbes NU 2021, Senin (27/9).
Maitah dan Daging Berbasis Sel
Di dalam Al-Quran, Allah swt dengan tegas menyatakan bahwa memakan bangkai adalah haram. “Sesungguhnya Dia mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa, bukan karena menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah: 173).
Bangkai, sebagaimana dijelaskan di laman halal.ipb.ac.id, adalah “binatang atau hewan yang mati tanpa melalui proses penyembelihan. Kematian tersebut bisa disebabkan oleh penyakit seperti anthrax pada sapi atau tetelo pada ayam dan penyakit lainnya; tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, diterkam binatang buas, dan tidak sempat disembelih sebelum mati.” Jadi binatang yang mati tidak melalui proses penyembelihan yang telah diatur dalam Islam, termasuk bangkai yang haram untuk dikonsumsi.
Di dalam kitab-kitab fikih juga dijelaskan bahwa bangkai (termasuk daging yang diambil dari hewan yang masih hidup) hukumnya haram untuk dikonsumsi. Di dalam Kitab Kifayatul Akhyar, juz 2, dijelaskan “Ma qatha’a min hayyin fahuwa maitun, apa saja yang terpotong dari hewan yang masih hidup, maka itu termasuk bangkai,” (hal. 229). Jadi, karena proses pembuatan daging berbasis sel mengambil daging dari hewan yang masih hidup, maka mengkonsumsi daging tersebut hukumnya haram.
Melalui Proses Syari
Kemudian akan muncul pertanyaan, bagaimana jika daging tersebut diambil melalui proses yang dihalalkan dalam Islam. Misalnya, daging yang diambil (untuk diproses menjadi daging berbasis sel) dengan cara disembelih lebih dahulu sesuai dengan syariat Islam. Apakah hal tersebut kemudian menjadi halal? Bagaimana ulama fikih menjelaskan terkait dengan hal tersebut?
Tentu tidak akan terjadi perdebatan atau perselisihan ketika proses pembuatan daging berbasis sel sesuai dengan kaidah hukum Islam. Seperti daging yang diambil, misalnya, dari hewan ternak (sapi, kambing, ayam, dan lain-lain) yang sudah melalui proses penyembelihan secara syariat Islam. Maka mengambil daging dari hewan tersebut kemudian diproses menjadi daging berbasis sel adalah legal atau absah.
Namun, persoalan lainnya adalah jika dalam proses daging berbasis sel masih menggunakan bahan lainnya. Dalam sebuah keterangan, proses pembuatan daging berbasis sel melibatkan serum darah dan gelatin. Bahan-bahan tersebut ditengarai sebagai bahan yang najis menurut Islam. Meskipun proses pengambilan daging sudah sesuai dengan kaidah syariat, namun terdapat bahan yang najis dalam pembuatannya, maka hukum mengkonsumsi daging tersebut tetap haram.
Dengan demikian, keputusan Komisi Bahtsul Masa’il Waqi’iyah Nahdlatul Ulama (NU) sudah tepat. Bahwa mengkonsumsi daging berbasis sel hukumnya haram, baik dipandang dari aspek asal muasal daging maupun bahan yang terlibat dalam proses perkembangbiakan daging berbasis sel tersebut.
Halalan Thayyiba
Konsep Islam tentang makanan cukup baik (sehat) dan ilmiah. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah: 168). “Halal” dimaksudkan bahwa keadaan makanan yang dikonsumsi tidak menyebabkan penyakit serta diperoleh dengan cara yang benar. Sementara, makna “baik” dimaksudkan sebagai bentuk menu masakan yang bergizi, mengandung nutrisi untuk kesehatan tubuh.
Di dalam Islam, konsep kehalalan dan kebaikan makanan menjadi perhatian utama karena akan berdampak positif kepada kita, baik secara fisik maupun secara mental. Halalan dan thayyiba dimaksudkan sebagai bentuk kesempurnaan hidup di dunia maupun di akhirat.
Pada setiap barang yang dihalalkan oleh Allah, maka pada barang tersebut mengandung kebaikan. Sebaliknya, setiap sesuatu yang diharamkan oleh Allah, maka pada hal tersebut memiliki nilai keburukan. Maka lakukanlah yang baik-baik saja, dan tinggalkanlah yang buruk dan berakibat kejelekan. Karena keburukan itu sendiri akan mempengaruhi kondisi fisik dan mental kita.
Wallahu A’lam bis Shawab!