Telepon Kiai dalam Mimpi

94 views

Sebelumnya mohon maaf bila sebagian kisah dari cerita ini mungkin di luar nilai-nilai kesantrian. Tapi sebagiannya lagi tetap bersumber dari dunia santri.

Saat-saat masih aktif melakoni profesi sebagai jurnalis, saya merasa benar-benar menjalani hidup “penuh warna”. Saya pernah memiliki dan hidup bersama dengan berbagai komunitas yang beragam latar belakangnya: beda suku dan ras, beda agama, beda bahasa, dan tentu saja juga beda kelakuan. “Penuh warna” yang dimaksud tentu juga berkaitan dengan “nasib” dan “peruntungan”.

Advertisements

Seperti umumnya orang yang bergelut di dunia kreatif atau usaha mandiri, tentu jatuh bangun dalam menjalani hidup adalah perkara biasa. Nah, saya termasuk yang beruntung pernah mondok walaupun tak lama. Beruntung, karena saya pernah dilatih bagaimana menjadi orang sabar saat berada di pondok. Itu akan sangat berarti saat menjalani kehidupan yang seperti roller coaster.

Tibalah saatnya saya, bersama komunitas yang beragam itu, jatuh. Di titik nadir pula. Suatu hari, saya bersama kawan-kawan saya itu berkumpul, dan meratapi nasib bersama. Usaha ambruk, tak ada yang punya uang pula. Dapur di rumah masing-masing tak ada yang mengebul sejak pagi. Seakan semua pintu tertutup untuk sekadar menyambung hidup hari ini.

Di sela-sela lalu lintas obrolan yang tak ada ujung, saya teringat akan mimpi malam sebelumnya. Saya tak tahu pasti sejak kapan, tapi di saat-saat genting, bisanya saya bermimpi bertemu dengan kiai di mana saya pernah mondok. Hampir selalu bisa dipastikan begitu. Padahal, saat mondok, saya bukan termasuk santri yang rajin dan sregep. Bahkan boleh dibilang cenderung nakal. Tidak termasuk santri yang memperoleh perhatian khusus dari kiai. Tapi selalu, di saat-saat seperti itu, saya bermimpi bertemu dengan kiai, dengan beragam momen.

Nah, yang berkaitan dengan cerita ini, momennya unik dan ujung dari mimpi itu melibatkan banyak orang —ya kawan-kawan yang ada dalam cerita ini. Karena itu ceritanya saya bagi di sini.

Hingga siang hari, saya masih teringat dengan jelas momen di mimpi itu, dan semua yang diucapkan kiai. “Kalau kamu sedang susah dan memerlukan bantuan, teleponlah nomor ini,” kata kiai sambil menyebutkan nomor telepon yang bisa saya hubungi. Saat itu saya bermimpi ditelepon kiai.

Begitu teringat, mimpi saya malam sebelumnya itu saya ceritakan kepada kawan-kawan saya yang sedang kelaparan itu. Seutuhnya. Begitu saya selesai bercerita, seorang dari mereka langsung nyeletuk, “Berapa nomor teleponnya!?” Ia tersenyum lebar setelah mencatat nomor telepon yang saya sebutkan.

Lalu ia bergegas pergi. Ternyata lama juga ia pergi. Kami saling bertanya ada apa gerangan. Menjelang maghrib ia baru muncul kembali, dan membawa sebundel uang! Saat ditanya dari mana memperoleh uang, ia cengar-cengir sambil berucap: “Togel!”

Usut punya usut, rupanya ia keluar mencari pinjaman uang untuk membeli togel, lalu meninggu hasilnya, dan menang. Saat itu, sekitar awal 2000-an, di tempat saya tinggal masih ada togel. Kita ingat, togel adalah singkatan dari “totol gelap”, yang tak bukan adalah perjudian dengan menggunakan nomor berhadiah. Dikenal juga dengan nomor buntut.

Rupanya, nomor telepon yang disebut kiai dalam mimpi saya itu dianggap sebagai nomor keberuntungan. Dan ia membeli togel dengan memasang nomor dari nomor telepon dalam mimpi itu. Dan jebol.

Kami semua tertawa terbahak-bahak. Kawan saya ini masih ada, dan sekarang tinggal di Kediri, Jawa Timur.  Entah itu sebagai berkah atau tulah, yang pasti hari itu kawan-kawan komunitas saya bisa kembali tersenyum lebar, sumringah, karena dapurnya kembali ngebul.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan