Belakangan Pancasila seperti diuji kembali. Sebagai ideologi bangsa Indonesia, Pancasila sering menjadi bahan perdebatan dalam forum-forum kecil dan forum berkelas nasional. Setidaknya ada dua sudut pandang jika disederhanakan. Pertama, Pancasila menjadi ideologi yang kuat namun para elite gagap saat mendiskusikannya. Kedua, memsyarakat memang masih mengakui bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa, namun masih memerlukan “pembuktian nyata” akan kebenarannya sebagai falsafah bangsa.
Sejak mula, Pancasila sebagai ideologi sudah menjadi kesepakatakan final. Namun, terasa aneh jika akhir-akhir ini Pancasila masih diperdebatkan statusnya sebagai “ideologi final”. Perlu dicermati sebenarnya apa yang terjadi di balik gejala ini.
Saya setidaknya melihat bahwa konteks Pancasila saat ini dan dulu sudah berbeda. Pada 1 Juni 1945, saat Presiden Soekarno memberikan pidato dengan judul ‘Lahirnya Pancasila’, konteks Pancasila hadir atas dasar sebagai jawaban dari hiruk-pikuk yang terjadi saat itu. Sehingga, masyarakat secara sadar meyakini bahwa untuk hidup dalam ketidakseimbangan ini perlu adanya arah yang menyeimbangkan, dan penyeimbang itulah bernama Pancasila. Tentu saja dalam konteks ini, Pancasila menjadi sesuatu yang final karena menjawab tantangan zamannya. Terlebih, pengamalan Pancasila pada zaman dahulu sangat kental, meskipun tak ada sebutan “Pancasilais” bagi pengamalnya.
Dalam konteks sekarang, Pancasila masih dan akan tetap menjadi sebuah penyeimbang kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya, penegasan bahwa Pancasila sebagai ideologi final dikeluarkan bukan karena sebagai jawaban atas puasnya rakyat terhadap Pancasila, melainkan dimunculkan kembali oleh para pengambil kebijakan dan para politisi untuk memenangkan kepentingan yang mereka bawa. Sehingga, Pancasila hanya dipahami atas dasar pengetahuan, dan bukan pemehaman dan pengamalannya. Hal ini bisa sangat membahayakan karena jika Pancasila hanya dianggap sebagai doktrin, maka ruang diskusi terhadap Pancasila juga akan dibatasi. Atas dasar kepentingan politik, Pancasila digunakan tameng sebagai katrol kepentingan. Namun, atas nama kestabilan negara, diskusi Pancasila menjadi ruang yang menegangkan dan diawasi oleh pihak-pihak tertentu.
Mengganti Pancasila sebagai ideologi adalah suatu hal yang haram memang. Namun mendiskusikan Pancasila sebagai ideologi adalah cara meluaskan perspektif sehingga Pancasila menjadi sebuah ideologi yang bisa diakses oleh siapa saja. Pengkajian mengenai Pancasila harus tetap berjalan sampai kapan pun agar masyarakat juga mengetahui bahwa Pancasila bukan hanya mengenai kehidupan masa lalu, namun juga saat ini dan ke depan.
Perspektif Ideologi Terbuka
Dalam konteks itu, apa sebenarnya makna di balik penegasan bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka?
Franz Magnis Suseno pernah mengelompokkan ideologi ke dalam tiga kategori; ideologi tertutup, ideologi terbuka, dan ideologi tersirat. Maksud dari ideologi tertutup adalah bahwa ideologi tersebut melegitimasi penuh monopoli elite penguasa di atas masyarakat. Isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori, dalam arti ideologi tersebut tidak bisa dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi tertutup adalah klaim atas kebenaran dan tidak boleh diragukan.
Sementara itu, ideologi terbuka mempunyai makna bahwa ideologi ini menyuguhkan orientasi dasar sehingga dalam penerapannya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral, dan cita-cita masyarakat. Praktik kehidupan dalam ideologi ini tidak bisa dimaknai secara apriori, melainkan harus sesuai keputusan yang demokratis sebagai perwujudan cita-cita bersama.
Sedangkan, ideologi tersirat adalah sebuah ideologi yang hadir dalam masyarakat-masyarakat tradisional yang mengatur tentang bagaimana mereka harus hidup sehari-hari. Ideologi ini hanyalah implisit saja, karena tidak diturunkan dan diajarkan, namun cita-cita dan keyakinan yang ada sangat berdimensi ideologis.
Dari pengkategorian tersebut, kita seharusnya sudah paham akan makna Pancasila sebagai ideologi terbuka. Sehingga, wacana-wacana dapat didiskusikan dan menjadi sarana untuk memperkaya wawasan ideologis kita sebagai bangsa.
Di sisi lain, Pancasila yang disepakati menjadi ideologi final bagi bangsa Indonesia memiliki dasar yang kuat, karena proses lahirnya Pancasila berbeda dengn ideologi-ideologi dunia yang berakar dari tiga filsafat.
Tiga filsafat yang dimaksud adalah, pertama, Filsafat Idealisme (philosophy of Idealism). Filsafat ini mengedepankan paham rasionalitas dan individualitas, dan ketika dijadikan dasar berpolitik melahirkan ideologi Liberalisme dan Kapitalisme. Ideologi ini beranggapan bahwa manusia adalah pusat dari segalanya. Dalam praktik, ideologi ini memisahkan pengaturan relasi agama dan negara.
Jika berkaca dari ideologi tersebut, apakah Pancasila salah satunya? Tentu tidak. Pancasila bahkan mengakomodasi nilai keagamaan dalam bernegara.
Kedua, Filsafat Materialisme (philosophy of materialism). Filsafat ini mengedepankan paham emosionalitas berupa perjuangan kelas dengan kekerasan dan kolektivitas. Dalam kehidupan berpolitik, filsafat ini melahirkan ideologi Sosialisme dan Komunisme. Dalam kehidupan beragama, filsafat ini bahkan lebih ekstrem dari yang pertama. Dalam praktik, agama bahkan dianggap menjadi candu yang bisa menghambat laju negara.
Jika berkaca dari sini, sangat tidak cocok dengan Pancasila. Pancasila justru menjadi sebuah jawaban atas kehidupan berbangsa dan beragama dengan sangat harmonis dan dialektis.
Ketiga, filsafat Teologisme (philosophy of teologism). Filsafat ini meyakini bahwa ajaran Tuhan menjadi sentral dari kehidupan bernegara. Sehingga, paham ini sangat membuka peluang sebagai sarana pengkultusan seseorang untuk mengambil peranan dalam beragama.
Jika berkaca dari filsafat itu, Pancasila sangat tidak seperti itu. Pancasila bahkan mampu menjembatani iman dan akal untuk berjalan seimbang. Sehingga, tentu saja dalam praktik kehidupan di Indonesia, jika ada seseorang yang mengaku menjadi nabi atau malaikat pasti akan segera diamankan oleh petugas karena Pancasila juga mengatur dalam keseharian kita untuk menjauhi kemusyrikan dan tidak ada pengkultusan individu.
Dengan semua penjelasan tersebut, sangat aneh rasanya jika ada yang hendak memonopli penafsiran pemahaman terhadap Pancasila sehingga membatasi ruang-ruang diskusi. Padahal, bukan Pancasilanya yang salah, melainkan wawasan kita terhadap Pancasila yang minim. Jika sudah seperti itu, para elite akhirnya memilih untuk tidak berdialog atau memilih untuk tidak mengikuti diskusi karena khawatir mereka akan gagap dalam menjelaskan Pancasila. Padahal, Pancasila juga merupakan sebuah wadah kritik terhadap pemerintah atas ketidakseimbangan bernegara.