Di bawah langit kelabu yang baru saja ditinggalkan oleh bintang-bintang, seorang pemuda berdiri memandangi puing-puing yang berserakan di sekelilingnya. Bakri, seorang santri muda itu, menatap kosong reruntuhan pesantren yang begitu ia cintai. Pesantren itu, yang dulunya berdiri megah di tengah ladang rempah-rempah, kini hancur lebur oleh serangan pasukan Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC.
Bakri ingat betul bagaimana suasana pesantren saat subuh di masa lalu. Suara azan yang merdu mengalun dari menara masjid, memanggil para santri untuk bangun dari tidur dan meraih keberkahan hari baru.
Pesantren ini bukan hanya tempat menimba ilmu agama, tetapi juga pusat penghasil rempah-rempah berkualitas yang terkenal hingga pelosok negeri. Hasil panen rempah-rempah mereka sering kali dipuji oleh pedagang dari berbagai penjuru dunia yang datang ke pelabuhan terdekat untuk membeli dan membawanya ke negeri-negeri jauh. Namun, semua keindahan itu kini hanya tinggal kenangan. Serangan buas pasukan VOC menghancurkan segalanya. Api membakar habis bangunan, kebun-kebun rempah pun tak luput dari amukan.
Dalam hati yang penuh luka, Bakri tahu bahwa ia tidak bisa berlama-lama meratapi nasib. Ada tanggung jawab besar di pundaknya untuk membangun kembali apa yang telah hancur. Ia bertekad untuk mengembalikan kejayaan pesantren dan ladang rempah-rempah yang menjadi warisan berharga dari para pendahulu. Bakri yakin, di tengah kehancuran ini, Allah masih menyimpan rencana besar bagi dirinya dan desanya. Di balik layar kesedihan ini, terdapat secarik kisah yang mengungkap kebenaran yang tersembunyi di antara puing puing kehidupan ini.
***
Kepulauan Banda 1621.
Saat pesantren masih berdiri kokoh dan dipenuhi oleh suara tawa serta semangat para santri. Bakri, Sahrul, dan Mathew adalah tiga sahabat yang tak terpisahkan. Setiap pagi, mereka bangun lebih awal, melangkah ringan menuju masjid, mengikuti panggilan azan yang merdu dari menara. Setelah menunaikan salat, Bakri, Sahrul, dan Mathew berjalan bersama menuju lahan pertanian yang terletak di belakang pesantren. Udara pagi yang segar dan aroma rempah-rempah yang semerbak menjadi latar belakang sempurna bagi perbincangan mereka. Lahan pertanian yang subur itu dipenuhi dengan tanaman pala, cengkeh, dan berbagai rempah lain yang tumbuh dengan subur di tanah Maluku. Mereka duduk di bawah naungan pohon besar, menikmati semilir angin yang mengusir rasa penat setelah belajar.