“Syam, dipanggil Kiai!”
“Di mana, Kang?”
“Di ruang tamu, sepertinya ada ibumu datang.” Lelaki yang dipanggil “kang” oleh Hisyam berlalu begitu saja meninggalkan Hisyam.
Deg. Dunia seakan berhenti berputar beberapa saat. Mata Hisyam terbuka lebar, kemudian mengerjap beberapa kali, mendengar kata “ibumu”. Kitab Al-Quran kecil di tangannya kini diletakkan di lemari yang bertuliskan “Hisyam Abdullah”, nama yang sudah diberikan oleh ibunya sejak bayi. Segera Hisyam membetulkan sarung dan peci yang dikenakannya. Lalu pergi menemui Kiai Rasyid, pemimpin Pondok Pesantren Darul Iman.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam.” Hampir serempak semua yang berada di ruangan itu menjawab salam Hisyam.
Di ruangan yang luasnya sekitar sembilan meter persegi itu sudah ada beberapa orang yang dari tadi sedang bercakap-cakap. Kiai Rasyid beserta istrinya dan ada satu orang perempuan berumur sekitar tiga puluh tahun. Pandangan mereka semua tertuju pada Hisyam. Ruangan sunyi dalam beberapa detik.
“Hisyam, silakan duduk,” titah Kiai Rasyid membuka perbincangan.
“Nggih , Kiai.”
Hisyam segera menuju kursi yang kosong, sebelah tamu Kiai Rasyid. Matanya tidak berani menatap para sesepuh yang berada di ruangan itu. Sejak kecil Hisyam sudah diajari adab oleh Kiai Rasyid, termasuk di saat berhadapan dengan tamu yang lebih tua tidak boleh menatapnya langsung. Semuanya diamalkan oleh anak usia sepuluh tahun itu. Hisyam sangat mematuhi dan menaati titah pemimpin pondok itu.
“Jadi ini adalah ibumu, Syam, Bu Murni. Kata beliau ada yang mau disampaikan kepadamu.” Kiai Rasyid mempersilakan tamunya untuk berbicara.
Wanita itu sedikit ragu hendak mengungkapkan isi hatinya. Namun, dia merasa malu dan hina di depan anak kandungnya sendiri. Tak terasa butiran bening telah keluar dari matanya. Rasa bersalahnya lebih besar. Wajahnya menunduk tidak sanggup menatap semua yang ada di sana. Jilbab hitamnya yang sudah lusuh digunakan untuk menyeka air mata. Di sisi lain, dia sangat senang dan bangga Hisyam kecil yang dulu ditinggalnya, kini menjadi seorang anak yang baik dan tampan.
“Tak apa-apa, Mbak silakan diungkapkan semua yang ada di hati. Kami ke dalam dulu, biar kalian bisa bercakap dengan leluasa.” Istri Kiai Rasyid pun memberikan pilihan.
“Tidak usah masuk Bu Rita, saya hanya sebentar saja di sini.” Akhirnya mulut perempuan itu mampu terbuka.
“Saya cuma ingin mengatakan kata maaf kepada Hisyam, selama ini saya baru berani menampakkan diri di sini. Sekarang saya sangat senang dan berterima kasih sekali kepada Kiai dan keluarga sudah sudi menerima, mengasuh, dan membimbing anak … saya,” perempuan itu melanjutkan perkataannya tadi.
Setelah selesai mengungkapkan isi hatinya, perempuan yang disebut sebagai ibunya Hisyam itu memeluk Hisyam yang dari tadi menunduk, duduk di sebelahnya. Hisyam pun menyambutnya, tak tahan air mata Hisyam juga menetes. Kiai Rasyid dan istrinya pun terharu melihat pemandangan anak dan ibu saling melepas rindu yang mendalam selama enam tahun terakhir.
“Jadi selama ini ternyata ibumu menjadi TKW di Arab Saudi, Syam. Baru tahun inilah beliau bisa pulang ke Indonesia. Nah, pertanyaanmu selama ini sudah terjawabkan, ke mana ibumu selama ini? Sedangkan bapak kandungmu sudah meninggal sejak kamu masih bayi, Bapak pun baru tahu tadi, ketika ibumu bercerita panjang lebar sebelum kamu ke sini,” jelas Kiai Rasyid.
“Nggih, Yai.”
***
Sembilan tahun lalu di malam yang dingin sekitar jam tiga pagi, Bu Rita, istri Kiai Rasyid menemukan bayi di depan rumah mereka. Bayi itu terbungkus kain bedong khusus bayi, dilapisi kain panjang di dalam ember besar. Dilihatnya ada selembar kertas putih.
“Tolong dirawat dan dibimbing bayi ini, namanya Hisyam Abdullah. Ayahnya baru saja meninggal, sedangkan ekonomi saya sedang sulit sekali. Keluarga yang lain tak ada yang mau menerima saya dan anak saya. Saya berjanji akan kembali ke sini. Terima kasih banyak. Ibunya Hisyam.”
Begitu pesan singkat yang tertulis di kertas itu. Merasa tak percaya, perempuan itu kembali membacanya pelan-pelan. Bu Rita pun terkejut dan menjerit setelah memastikan kebenaran tulisan tadi.
“Pak! Pak! Pak!”
“Ada apa, Buk, kok jerit-jerit malam-malam begini, nanti didengar para santri, lho,” ucap Kiai Rasyid.
“Ada bayi, Pak.” Perempuan itu menunjuk ke sebuah ember besar di hadapannya.
“Ya Allah, bayi siapa ini, Buk?”
“Tak tahu, Pak, di sini tak ada nama ibunya.” Bu Rita memberikan secarik kertas yang baru saja dia baca kepada suaminya.
Setelah sepasang suami istri itu berdiskusi, akhirnya bayi yang diberi nama Ahmad Hisyam itu dirawat dan diasuhnya. Hisyam kecil tumbuh menjadi anak yang patuh, ceria, dan penurut. Kiai Rasyid dan Bu Rita pun sudah menganggap Hisyam sebagai anaknya sendiri hingga tidak tega untuk memberitahu kenyataan yang sebenarnya. Namun, apa pun yang terjadi mereka harus menceritakannya saat Hisyam sudah masuk sekolah dasar.
“Bapak, lagi berbohong, kan?”
“Semua yang barusan bapak ceritakan itu betul, Nak, kamu yang sabar, ya. Ibumu yang asli berjanji suatu saat nanti akan menjemputmu. Kita berdoa saja semoga itu memang benar dan ibumu segera ke sini,” ucap Kiai Rasyid.
Hisyam dengan gontai menuju kamarnya. Air matanya tidak bisa terbendung. Akhirnya Hisyam memutuskan untuk pindah dari kediaman Kiai Rasyid menuju kamar para santri dan mulai menghafalkan Al-Quran sampai ibu kandungnya datang meniliknya. Anak lelaki itu sadar diri, dan tak ingin merepotkan keluarga Kiai Rasyid. Dia memilih melebur dengan para santri untuk mengalihkan rasa sedihnya. Sebab, Hisyam yakin sekali ibunya pasti akan datang. Setiap hari dia tak melewatkan untuk mendoakan ayah dan ibunya, meski tidak pernah sekali pun bertemu.
***
Setelah perjumpaan dengan ibunya tempo hari, Hisyam semakin rajin membaca dan menghafal Al-Quran. Berhubung saat ibunya datang Hisyam masih mendapatkan hafalan 27 juz, Hisysam memutuskan untuk tetap mondok sampai hafalannya mencapai 30 juz. Hisyam pun sangat bersyukur karena sebentar lagi dia bisa menyelesaikan hafalannya. Hal itu tidak bisa diraihnya tanpa adanya Kiai Rasyid dan semangat dari para santri yang juga seperjuangan dalam menghafal. Semua itu kemudian disetorkannya langsung kepada Kiai Rasyid.
Hari itu tiba, hari yang telah dinantikan Hisyam, tinggal dan menetap dengan ibunya. Kali ini ibunya datang untuk menjemput Hisyam, bukan sekadar mengunjunginya. Semua rasa ada saat itu; sedih, senang, terharu. Sedih karena akan meninggalkan Kiai Rasyid dan Bu Rita, orang tua yang telah menjaganya selama ini. Senang karena akan tinggal bersama ibu kandungnya. Terharu karena bangga akan dirinya yang masih dini telah menyelesaikan hafalan Al-Quran.
“Nak, sekarang yang bertanggung jawab atas dirimu adalah ibu kandungmu sendiri. Jaga baik-baik ibumu, ya,” petuah Kiai Rasyid.
“Baik, Kiai. Insyaallah Hisyam akan jadi anak saleh dan melindungi ibu.”
“Silakan, Bu Murni diminum dulu tehnya.” Bu Rita menawarkan teh yang dari tadi belum diminum oleh tamunya itu.
“Iya, Bu.” Lantas wanita berkerudung merah muda itu mengambil cangkir putih di depannya.
Setelah Kiai Rasyid menyerahkan Hisyam, Murni segera undur diri. Ia paham akan kesibukan Kiai Rasyid mengajar para santrinya. Para santri di luar griya Kiai Rasyid sudah berbaris. Bersiap untuk perpisahan dengan Hisyam, anak angkat kiai mereka. Kiai Rasyid memeluk Hisyam yang berpamitan kepadanya, begitu berat baginya melepas Hisyam. Begitu juga dengan Hisyam, semua yang ada di pondok seakan sudah menjadi keluarganya.
“Ayo, Buk.” Hisyam meraih tangan ibunya. Perempuan itu pun menyambutnya dengan senyum di bibirnya.
Belum sampai pintu keluar, tiba-tiba Murni roboh. Semua yang melihatnya tercengang.
“Buk! Buk! Buk! Bangun Buk!” Hisyam menggoyang-goyang tubuh perempuan itu.
Kiai Rasyid langsung mengambil ponselnya yang berada di saku. Mencari nama dokter langganan mereka, lalu menekannya. Kebetulan kediaman dokter tidak jauh dari pondok, beberapa menit kemudian dokter telah sampai di griya Kiai Rasyid.
“Maaf, Kiai. Sudah tidak bisa ditolong, sepertinya ibu ini punya riwayat sakit jantung,” jelas dokter.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,” ucap Kiai Rasyid spontan yang diikuti oleh seluruh orang yang hadir hampir bersamaan.
ilustrasi: lukisan hendra